PAK MIN



Nama Lengkapnya adalah Tukimin, kami biasa memanggilnya Pak Min. Lelaki paruh baya itu adalah pensiunan Mahkamah Agung. Baik. Baik sekali. Sebelumnya bekerja sebagai supir jemputan pegawai MA jurusan MA-Sumber Artha, Bekasi. Dan karena kebaikannya, meskipun sudah pensiun penghuni bis jemputan sepakat untuk tetap memakai jasanya untuk mengantar-jemput kami.  Alhamdulillah disetujui kantor.
Pak min terkenal sebagai supir jemputan paling baik. Contoh, ketika supir2 jemputan lain terburu2 pulang, dan sering membuat penumpangnya terbirit2 bahkan kadang tertinggal, pak Min akan selalu sabar menunggu semua penumpangnya hingga yakin tidak ada yang tertinggal. Pak Min rela mengabsen sesiapa yang belum terlihat jika mobil2 lain sudah meninggalkan MA.
"Izah.."
"Ishma..."
"Lilies.."
Begitu biasanya pak Min mengabsen sebelum melajukan kendaraan hijau yang sudah belasan tahun dikendarainya.

Ya begitulah pak Min. Tidak heran jika teman2 di ruanganku selalu bilang... "Enak ya sama pak Min... Kalo gw? Ampun deh si XX supir tanpa ampun! Telat dikit aja, langsung tinggal!"


hmmm



Aku selalu berdoa semoga Allah mempermudah semua urusannya, menyayangi pak Min dan keluarganya serta memberkahi umurnya.

@pakminbus. 25 July 2012 menuju kantor. Alhamdulillah

Di atas adalah salah satu tulisan  yang lahir di atas Bis Jemputan Mahkamah Agung jurusan Sumber Arta-MA. Selain itu banyak sekali tulisan-tulisanku yang lahir di mobil "ringkih" yang amat aku cintai itu. Meskipun tidak ber-ac, berdenyit setiap saat, dan sering kali harus diservis, aku adalah salah satu orang yang sangat bergantung dengan mobil tersebut.  Apalagi ditambah dengan Pak Min yang super duper baik, yang dengan senang hati menungguku yang keseringan telat, membangunkanku kala asyik tertidur padahal sudah waktunya turun, sungguh2 membuat pak Min dan bis itu memiliki tempat khusus di hidupku, di hatiku. Pak Min and the Bus are separuh jiwaku, I can't live without them. Hehe. Terkesan lebay, tetapi itulah yang sebenarnya terjadi.

Sehingga kini ketika Pak Min dan Bus itu tidak ada lagi, aku sedih, aku kehilangan separuh jiwaku, aku hilaaang. Kantor mengeluarkan kebijakan baru bahwa pensiunan tidak diperbolehkan lagi bekerja di kantor. Untuk semua bidang. Aku sedih. Tentu saja. 

Kini, dalam dua bulan belakangan ini setiap bangun tidur yang tefikir bukan lagi ide apa yang harus aku tulis, masakan apa yang aku sajikan untuk keluarga atau pekerjaan apa yang harus diprioritaskan  di kantor. Tetapi, hari ini naik apa ya ke kantor, jalanan macet ga ya, kalo naik busway kira-kira telat ga ya, kalo naik ojek, uang di dompet masih ada berapa y? (Lalu tiba-tiba aku bukannya ke kamar mandi untuk wudhu, tetapi malah ngambil tas, ngecek dompet. Haha) .

Setelah melihat dompet, kalo isinya miris aku putuskan naik transjakarta yang tidak terlalu mahal. Itu artinya aku harus lebih pagi berangkatnya, untuk menghindari macet dan potongan remunerasi, dan itu artinya juga aku harus melakukan aktifitas pagi seperti shalat, tilawah, masak, mandi dalam kecepatan luar biasa. Dan seringkali hasilnya amburadul, terutama masak, menjadi gosong, kurang garam, atau kematengan adalah hal yang biasa terjadi. Setelah itu lari-lari ke depan gang memberhentikan angkot 19 atau 29 menuju halte BNN untuk lanjut naik transjakarta.

Lain cerita kalau hujan,

Aku memang sangat mencintai hujan. Selain romantis, aku adalah penganut maha percaya bahwa hujan adalah rahmat dan berdoa kala hujan tidak ada yang lain kecuali makbul. Tapi itu dulu, kala masih ada Pak Min. Di mana ketika hujan, aku akan membuka sedikit jendela kemudian membiarkan cipratan airnya menyentuh, membasahi wajahku. Aku adalah penggila sensasi sejuk tetesan hujan di wajahku.  Lalu sambil tak henti berdoa kadang, saat-saat seperti itu otakku penuh ide-ide brilliant. Hmm, itu dulu, waktu masih ada pak Min dan bus ringkih itu.

Kini, astaghfirullah. Hujan seringkali membuatku lupa bahwa aku pernah sangat mencintainya. Karena kini, hujan membuatku sengsara. Aku adalah orang yang paling malas membawa payung, selain bikin repot aku sering kali lupa kalau membawa payung, alhasil sering hilang kala selesai dipakai. Itulah makanya kala mau berangkat ke kantor hujan, aku seringkali menggurutu, "coba ada pak Min..." Begitu biasanya ujung gerutuanku.

Naik ojek kebasahan, naik angkot pasti maceeet. Kadang, aku memilih keduanya saat hujan, awalnya naik angkot tetapi karena tidak tahan dengan macetnya, aku turun dari angkot dan naik ojek. Basah, sudah pasti. Dipotong remunerasi, sudah pasti.  Hmm, coba ada pak Min....

Belakangan aku mendengar kabar Pak Min sakit dan sempat dirawat di RS. Aku memang berniat untuk menjenguknya, tapi pekerjaan di kantor sedang numpuk-numpuknya hingga Pak Min kembali ke rumah, aku belum juga bisa menjenguknya.

Melalui telephon, aku berbincang dengan Pak Min. Senang sekali mendengar suaranya, seperti mendengar suara ayah sendiri yang lama tak dijumpai. Rindu.

Aku bertahan agar suaraku tidak parau, entah mengapa, mendengar suara pak Min hatiku jadi bergemuruh, aku rindu.

Aku tahan sebisa mungkin agar tak pecah tangisku, aku tanyakan kabarnya, perkembangan kesehatannya, kegiatannya kini dan apa saja yang bisa kutanyakan. Dan Masih sama seperti dulu, suara itu menandakan  kerendahhatian dan sangat penyabar.

Ya Allah jaga dan lindungi Pak Min y. Tolong disakinahkan, mawaddahkan, rahmankan keluarganya, agar Pak Min, seseorang yg pernah menjadi separuh jiwaku itu  bisa menikmati anugrahmu bersama keluarga tercintanya.

(On public transportation going to office, complete on June 12 2014. 07:25). hmm, coba ada Pak Min…

Komentar

  1. Gue kebayang loh wajah pak Min :') ga tau sedih krn tau pak Min sakit, atau krn baca crta lo naik angkutan umum kekantor :D

    BalasHapus

Posting Komentar