AZZAH ZAIN AL HASANY

picture by @pepynofriandi
Dulu, ketika kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (SD), aku benci sekali dengan namaku, Nur Azizah. Pasalnya, saat itu ada penyanyi dangdut, Yus yunus Namanya (aku hafal sekali dengan orang ini dan kumisnya) yang menyanyikan lagu dengan judul Nur Azizah. 

Sebenarnya judul lagu tersebut adalah “Gadis Malaysia” namun lebih terkenal dengan lagu Nur Azizah, karena memang di lagu itu menceritakan seorang gadis bernama Nur Azizah . Tentu saja aku tidak benci dengan penyanyi dan lagunya, namun imbas darinya. Karena dengan adanya lagu itu, setiap hari aku digoda teman-teman lelakiku sekelas, terutama Joko (aku hafal sekali dengan orang ini dan rambut belah tengahnya) yang tak henti menyanyikan lagu ini saat bermain atau belajar di kelas sambil menggodaku. Saat itu, aku tidak berani untuk melawan mereka, aku hanya diam dan marah sendiri saat mereka menyanyikan lagu itu, yang bahkan mereka tetap lakukan ketika aku maju ke depan kelas untuk mengerjakan tugas dari guru. Saat itu, aku sangat ingin mengganti nama, tetapi tidak punya keberanian untuk bilang ke Abeh dan Umi.

Masuk ke jenjang Tsanawiyah (SMP), keinginanku mengganti nama menjadi lebih kuat. Bukan, bukan karena ada laki-laki yang suka nyanyiin lagu Nur Azizah, karena mulai Tsanawiyah aku belajar di Pondok Pesantren di mana hanya diisi oleh perempuan. Keinginan untuk ganti nama itu disebabkan bahwa dalam satu kelas terdapat lebih dari satu Nur Azizah. Parahnya lagi, di kelas lain masih ada dua orang dengan nama yang sama, sehingga total nama Nur Azizah di angkatanku ada 4 orang. Untuk membedakan satu di antara kami adalah peletakan nama ayah masing-masing di belakang nama, sehingga kadang, teman-teman memanggil kami dengan nama orang tua, bukan nama kami.
Nur Azizah Zainuddin dan Nur Azizah Maarif 

Jika mereka tidak tahu nama orang tua kami, mereka menggunakan ciri yang ada di kami, misal warna kulit, jadi Ketika mereka bingung Nur Azizah yang mana, mereka akan bertanya “Nur Azizah yang putih atau yang item?” tentu saja yang item itu merujuk ke aku. Aku sangat ingin ganti nama, agar aku bisa berdiri sendiri hanya dengan namaku tanpa embel-embel yang lain, namun tidak berani bilang ke orang tuanku, terutama Umi. Karena menurut Umi, namaku itu didapatkan dari guru ngajinya yang sudah didoakan macam-macam kebaikan. Dari situ, aku sudah kebayang jawaban dan mata Umi jika aku utarakan keinginanku ganti nama. Jadi, ya kusimpan saja keinginan itu, hingga suatu hari Allah mengizinkannya, ya akhirnya aku punya nama lain yang kupakai untuk menamai diriku, selain Nur Azizah.

Saat itu, aku sudah di bangku kuliah. Sedari masuk kampus, Aku sudah was was dengan namaku sendiri, melihat pengumuman lulus pun aku ragu melihat namaku, jangan-jangan itu bukan Nur Azizahku. Hingga bolak balik aku memastikan nomor ujianku, aku baru percaya bahwa itulah aku.

Cukup senang ketika masuk kuliah, karena di Kelas, di Jurusan,  aku tidak mendapati Nur Azizah kecuali aku. Namun itu tak berlangsung lama. Karena Ketika sudah masuk semester tiga, Ketika aku sudah mulai ikut berorganisasi, bergaul dengan teman-teman dari ragam fakultas dan organisasi, aku mendapati diriku lagi yang Tsanawiyah. Ada tiga Nur Azizah. Satu hitam, satu putih dan satu mungil. "Betapa pasarannya nama ini," dumel hatiku. Tentu saja, meski sudah masuk bangku kuliah aku tidak berani mengutarakan keinginan mengganti nama ke Umi. Karena mata dan jawabannya sudah bisa kubayangkan. BIG NO pastinya.

Keadaan berjalan seperti biasanya. Aku rupanya sudah bisa menikmati pelabelan orang-orang akan namaku.

Kemudian, kalau tidak salah di akhir semester empat. Aku mengikuti sebuah workshop penulisan. Dari situ aku mulai mengenal Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Laut Biru, Gola Gong, dan lainnya. Dari situ pula aku mulai suka menulis cerpen, puisi, artikel bahkan novel.

Ketika pertama kali ingin mempublikasikan karya, aku sudah dilemma dengan Nur Azizahku. Nur Azizah manakah yang akan dikira orang nantinya. Aku sudah pernah coba cari di google serach nama Nur Azizah, bejibun. Maka dari situ, aku mulai mereka-reka nama pena, seperti beberapa penulis yang menggunakan nama pena, nama pasar.

Entah dari mana asalnya, kemudian aku mendapatkan ide dengan susunan nama Azzah Zain Al-Hasany. Azzah itu namaku (lebih mudah ngucap dibanding azizah), Zain itu penggalan nama Abeh (Zainudiin) dan al-Hasany adalah nama Ummi (Hasanah). Pertama kali menyebut nama ini, aku bangga sekali. Terdengar gagah dan cantik. Dan sepengetahuanku dan juga hasil penelusuranku di Google, belum ada orang menggunakan nama ini. Dengan nama ini, khususnya ketika berkarya, aku ingin ada andil Ummi dan Abeh di dalamnya. Semoga saja bisa menjadi setitik cahaya untuk kebaikan kami di dunia dan akhirat. Azzah Zain Al-Hasany, ah, cantik sekali nama ini.

Hingga kini, dengan nama itu, puluhan puisi, lusinan cerpen, dan beberapa artikel dan novel pernah lahir darinya. Pun sekarang, ketika aku mendapat tugas rutin menulis berita di web dan majalah, maka dengan bangga aku menggunakan inisial azh (azzah zain al hasany).

Dan kini pula, jika siapapun mengetik di mesin pencari google nama Azzah Zain Al Hasany, tidak lain tidak bukan. Itulah aku. Bukan yang lain. (azh)

Komentar