SELAMAT DATANG BAYI SUCI
"Selamat ya, kau akan menjadi ibu…"
"Selamat ya, semoga Allah selalu memberkahimu…"
"Selamat ya, semoga pahalamu makin bertambah dengan jihad ini…"
"Selamat ya, pastikan dunia ikut bergembira dengan berita ini…"
"Selamat ya, semoga keturunan shalih yang akan dipihakkan-Nya padamu!"
"Amin… amin… amin…" air mataku tak henti menemani mulut dan hatiku yang senantiasa mengharap Allah mengabulkan semua doa-doa baik ini. Doa ibu yang tersenyum dalam figura, doa ayah yang terbayang dalam ingatan, doa udara, doa malaikat, doa Raqib dan Atid di sampingku, doa para benda mati, bangku, meja, lemari, komputer, termasuk kertas test pack di depanku.
Sujud syukur berulang kali aku lakukan. Janji Allah memang benar. Dia memanglah Maha Pengabul permintaan hamba-Nya. Kami dipercayai-Nya menerima amanah ini, terkhusus aku. Perempuan seperti aku, yang apa adanya, dipercayai-Nya mengandung, dipercayai-Nya memiliki permata, dipercayai-Nya dipanggil Bunda… Allah, terima kasih. Padahal belum tepat sebulan kami mengucapkan aqdun nikah, Allah sudah menambahi lagi berat kebahagiaan kami. Duhai Allah.... “maka nikmatMu mana lagikah yang harus mampu kami dustakan?” duhai.....
Tanpa menunggu lama, kuambil hand phone. Ku pencet nomor yang sudah kepalang ke luar dari otakku, kantor suamiku; tidak ada yang mengangkat. Kupencet nomor lain yang juga sudah sangat kuhafal; tidak juga ada jawaban. Akhirnya, hanya pesan singkat yang coba kukirimkan. Mungkin ayahmu sedang di jalan Nak… kataku sambil membelai lembut perutku. Masih rata. Tetapi aku sangat bahagia.
"Kaka… selamat ya… kau akan jadi ayah… tanda merah itu mendua! Pastikan ini berkah… jangan lupa banyak syukur ya…"
Setelah melewati kebiasaan datangnya "tamu itu", kami berdua memang sempat deg-degan. Harap-harap cemas. Malah suamiku dengan bersemangatnya sudah menawarkan test dokter sejak keterlambatanku yang baru lima hari. Aku bilang jangan dulu, khawatir ini hanya keterlambatan biasa, nanti malah kecewa.
Dan tepat, setelah 10 hari keterlambatan "tamu" itu, aku beranikan diri untuk mengajak suamiku ke apotik untuk membeli test pack. Dia sangat bersedia. Bahkan dengan PD-nya dia yang bertanya kepada penjaga apotik itu yang kebetulan perempuan. Suaranya lantang. Aku tahu betul dia sedang bahagia.
"Ada!" katanya padaku, mengulang perkataan sang apoteker. Wajahnya penuh senyum.
"Bagaimaana cara pakainya Mba!" masih suamiku yang bertanya. Tanpa malu-malu.
Sang apoteker malah tersenyum. "Baru pertama kali ya Pak?"
Suamiku mengangguk. Melirik ke arahku. Tersenyum penuh kemenangan.
"Ada cara penggunaannya kok di dalam. Baca aja!" Kata sang apoteker masih dengan senyuman. "Semoga yang terbaik yang akan dipihakkan-Nya pada Bapak dan Keluarga." Tambah sang apoteker.
"Amin…." Jawab suamiku mantap. Dan tanpa ragu, ia langsung menggandeng tanganku riang setelah membayar benda yang akan mengubah hidup kami selanjutnya.
* * * * *
Ya… begitulah… hingga akhirnya, ketika sudah jam setengah tujuh pagi keesokan harinya, di mana suamiku harus berangkat ke Padang, demi tugas dari kantornya, tanda merah itu masih saja satu. Padahal, sudah sedari subuh alat itu di masukkan ke dalam air seniku. Dengan sedih hati… suamiku berkata, "Ya sudah, nanti kita coba lagi ya… mungkin ini hanya keterlambatan biasa!" Ia mengecup keningku sesudah ia memastikan adakah tanda merah itu mendua, yang ternyata tidak. "Aku berangkat dulu ya… kamu baik-baik di rumah. Jangan sedih. Allah-lah yang paling tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya."
Aku belum juga puas. Seperginya suamiku. Aku belum juga membuang alat itu, aku biarkan di tempatnya. Kubolak-balik, belum juga berubah. Hingga 30 menit setelah itu. Hatiku membuncah… tanda merah itu tidak lagi bersendirian. Dia sudah mendua. Subhanallah… apakah ini sungguh Allah…. Kuperhatikan lagi…. Kubertasbih lagi… kuperhatikan lagi… kubertasbih lagi…..Allah… jika memang ini benar nikmat yang Kau tunjukkan kepada kami, jangan biarkan kehadirannya membuat kami lalai dari mengingat-Mu, jangan buat kami jauh dari-Mu, jangan buat kami ingkari-Mu… Allah Bantu kami dalam mengaplikasikan rasa syukur atas semua nikmatmu.. amin…..
Kesendirian membuat aku bebas mengekspresikan kegembiraanku. Tak henti kupandangi perutku di kaca. Kuketok-ketok lembut…. Hai…. Apakah kamu ada di dalam bayi suci? Tanyaku sambil tersenyum. Oh Allah… terima kasih.
"Kaka… selamat! Kau kan jadi ayah! Tanda merah itu mendua. Pastikan berkah ya! Cepat pulang. Kami menunggu." Kuulangi lagi bunyi sms itu lirih dalam kesendirianku berteman bahagia.
Tanpa basa basi, aku langsung mengambil dompet, aku sisihkan untuk bersedekah. Semua harus didasarkan pada-Nya. Segala kebahagiaan, kesedihan dan keseluruhan dalam hidup adalah kehendak-Nya. Dan sedekah adalah salah satu cara bagaimana kita mengaplikasikan rasa syukur kita.[]
Thanks Allah,
pastikan kepercayaan ini bisa kami pertanggungjawabkan.
Rumah, November 2006
"Selamat ya, kau akan menjadi ibu…"
"Selamat ya, semoga Allah selalu memberkahimu…"
"Selamat ya, semoga pahalamu makin bertambah dengan jihad ini…"
"Selamat ya, pastikan dunia ikut bergembira dengan berita ini…"
"Selamat ya, semoga keturunan shalih yang akan dipihakkan-Nya padamu!"
"Amin… amin… amin…" air mataku tak henti menemani mulut dan hatiku yang senantiasa mengharap Allah mengabulkan semua doa-doa baik ini. Doa ibu yang tersenyum dalam figura, doa ayah yang terbayang dalam ingatan, doa udara, doa malaikat, doa Raqib dan Atid di sampingku, doa para benda mati, bangku, meja, lemari, komputer, termasuk kertas test pack di depanku.
Sujud syukur berulang kali aku lakukan. Janji Allah memang benar. Dia memanglah Maha Pengabul permintaan hamba-Nya. Kami dipercayai-Nya menerima amanah ini, terkhusus aku. Perempuan seperti aku, yang apa adanya, dipercayai-Nya mengandung, dipercayai-Nya memiliki permata, dipercayai-Nya dipanggil Bunda… Allah, terima kasih. Padahal belum tepat sebulan kami mengucapkan aqdun nikah, Allah sudah menambahi lagi berat kebahagiaan kami. Duhai Allah.... “maka nikmatMu mana lagikah yang harus mampu kami dustakan?” duhai.....
Tanpa menunggu lama, kuambil hand phone. Ku pencet nomor yang sudah kepalang ke luar dari otakku, kantor suamiku; tidak ada yang mengangkat. Kupencet nomor lain yang juga sudah sangat kuhafal; tidak juga ada jawaban. Akhirnya, hanya pesan singkat yang coba kukirimkan. Mungkin ayahmu sedang di jalan Nak… kataku sambil membelai lembut perutku. Masih rata. Tetapi aku sangat bahagia.
"Kaka… selamat ya… kau akan jadi ayah… tanda merah itu mendua! Pastikan ini berkah… jangan lupa banyak syukur ya…"
Setelah melewati kebiasaan datangnya "tamu itu", kami berdua memang sempat deg-degan. Harap-harap cemas. Malah suamiku dengan bersemangatnya sudah menawarkan test dokter sejak keterlambatanku yang baru lima hari. Aku bilang jangan dulu, khawatir ini hanya keterlambatan biasa, nanti malah kecewa.
Dan tepat, setelah 10 hari keterlambatan "tamu" itu, aku beranikan diri untuk mengajak suamiku ke apotik untuk membeli test pack. Dia sangat bersedia. Bahkan dengan PD-nya dia yang bertanya kepada penjaga apotik itu yang kebetulan perempuan. Suaranya lantang. Aku tahu betul dia sedang bahagia.
"Ada!" katanya padaku, mengulang perkataan sang apoteker. Wajahnya penuh senyum.
"Bagaimaana cara pakainya Mba!" masih suamiku yang bertanya. Tanpa malu-malu.
Sang apoteker malah tersenyum. "Baru pertama kali ya Pak?"
Suamiku mengangguk. Melirik ke arahku. Tersenyum penuh kemenangan.
"Ada cara penggunaannya kok di dalam. Baca aja!" Kata sang apoteker masih dengan senyuman. "Semoga yang terbaik yang akan dipihakkan-Nya pada Bapak dan Keluarga." Tambah sang apoteker.
"Amin…." Jawab suamiku mantap. Dan tanpa ragu, ia langsung menggandeng tanganku riang setelah membayar benda yang akan mengubah hidup kami selanjutnya.
* * * * *
Ya… begitulah… hingga akhirnya, ketika sudah jam setengah tujuh pagi keesokan harinya, di mana suamiku harus berangkat ke Padang, demi tugas dari kantornya, tanda merah itu masih saja satu. Padahal, sudah sedari subuh alat itu di masukkan ke dalam air seniku. Dengan sedih hati… suamiku berkata, "Ya sudah, nanti kita coba lagi ya… mungkin ini hanya keterlambatan biasa!" Ia mengecup keningku sesudah ia memastikan adakah tanda merah itu mendua, yang ternyata tidak. "Aku berangkat dulu ya… kamu baik-baik di rumah. Jangan sedih. Allah-lah yang paling tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya."
Aku belum juga puas. Seperginya suamiku. Aku belum juga membuang alat itu, aku biarkan di tempatnya. Kubolak-balik, belum juga berubah. Hingga 30 menit setelah itu. Hatiku membuncah… tanda merah itu tidak lagi bersendirian. Dia sudah mendua. Subhanallah… apakah ini sungguh Allah…. Kuperhatikan lagi…. Kubertasbih lagi… kuperhatikan lagi… kubertasbih lagi…..Allah… jika memang ini benar nikmat yang Kau tunjukkan kepada kami, jangan biarkan kehadirannya membuat kami lalai dari mengingat-Mu, jangan buat kami jauh dari-Mu, jangan buat kami ingkari-Mu… Allah Bantu kami dalam mengaplikasikan rasa syukur atas semua nikmatmu.. amin…..
Kesendirian membuat aku bebas mengekspresikan kegembiraanku. Tak henti kupandangi perutku di kaca. Kuketok-ketok lembut…. Hai…. Apakah kamu ada di dalam bayi suci? Tanyaku sambil tersenyum. Oh Allah… terima kasih.
"Kaka… selamat! Kau kan jadi ayah! Tanda merah itu mendua. Pastikan berkah ya! Cepat pulang. Kami menunggu." Kuulangi lagi bunyi sms itu lirih dalam kesendirianku berteman bahagia.
Tanpa basa basi, aku langsung mengambil dompet, aku sisihkan untuk bersedekah. Semua harus didasarkan pada-Nya. Segala kebahagiaan, kesedihan dan keseluruhan dalam hidup adalah kehendak-Nya. Dan sedekah adalah salah satu cara bagaimana kita mengaplikasikan rasa syukur kita.[]
Thanks Allah,
pastikan kepercayaan ini bisa kami pertanggungjawabkan.
Rumah, November 2006
Komentar
Posting Komentar