Selingkuh!
Apa yang terbersit di kepala anda bila mendengar kata ini? Sebuah dosa, sebuah kesalahan, kebohongan, ketidaksetiaan, kemarahan, kecurangan, keberanian, kekuasaan, kepuasan, keangkuhan, atau harga diri. Atau ada yang lain?
Secara riil, saya belum pernah mendengar cerita sahabat atau orang-orang terdekat tentang pengalaman berselingkuh atau diselingkuhi. Saya hanya mendapatkannya dari berita-berita di televisi (ini menjadi salah satu penyebab suami berani membunuh istrinya, atau sebaliknya, astaghfirullah!), atau melalui cerita-cerita dari berbagai media yang saya baca. Kesimpulan dari semua itu selingkuh adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.
Bukan hanya bagi orang yang diselingkuhi (object) tetapi juga bagi orang yang berselingkuh (subject). Selingkuh menyakitkan. Karena apa? Karena si subject dengan sadar dan dengan sengaja membohongi diri sendiri, hatinya sendiri (ini yang paling menyakitkan dan menyusahkan) dan orang yang sangat dicintainya. Sedangkan bagi si object rasa dikhianati tidak ada yang mengalahkan rasa sakitnya, kecuali sakit saat ruh diangkat dari jasad, seperti dikuliti perlahan dari kaki hingga kepala, seperti tubuh dibacok perlahan dengan golok atau samurai paling tajam di seluruh dunia. Menyakitkan. Bersangatan. Imbas dari kegiatan ini siapapun bisa melakukan apa saja agar bisa menghilangkan rasa sakit itu. Satu diantaranya adalah cerai, kehalalan yang paling tidak disukai Allah. Na’udzubillah!
Beberapa bulan yang lalu, ketika sedang di warung makan, kudapati seorang lelaki sedang bercerita dengan gagahnya (hingga terdengar jelas ke mejaku) di hadapan teman-temannya (lebih dari lima orang), bahwa ia pernah beberapa kali selingkuh (matanya berbinar saat mengatakan ini). Baginya, membohongi diri dan hatinya adalah sebuah nilai lebih bagi eksistensi kelelakiannya. Ia bahkan sudah memiliki beberapa trik jika gelagat ini tercium oleh pasangannya. Apakah ini sah? Tentu saja kembali lagi ke prinsip hidup masing-masing. Karena mau tak mau, di zaman yang sudah sangat individualis ini, selingkuh telah menjadi gaya hidup. Ufh!
Tidak hanya perempuan, yang terkadang dikonotasikan menjadi “korban” dalam hal ini, yang was-was, takut, curiga, pasangannya bermain hati dengan orang lain. Para lelakipun kini tak kalah khawatirnya, apakah sang istri benar-benar setia atau malah memainkan cinta di belakangnya. Sekali lagi, mau tak mau saya harus mengatakan selingkuh telah menjadi gaya hidup, yang entah, import dari negara mana. Antah berantah.
Bagi saya sendiri, selingkuh adalah sebuah kesadaran. Kesadaran untuk bermasalah. Bermasalah dengan Tuhannya, pasangannya, anak-anaknya, ibu-bapaknya, mertuanya, dan tentu saja dengan dirinya sendiri. Karena siapapun sadar, bahwa dikhinati adalah sebuah kesakitan yang luar biasa. Siapapun, laki-laki atau perempuan, jika bisa memilih, pasti inginnya disetia-i, tidak ingin ada dalam kamus hidupnya untuk bersiap-siap dibohongi. Siapapun sadar, bahwa mencintai dan dicintai adalah sebuah nikmat luar biasa, sebuah amunisi hidup yang tak lekang waktu, sebuah senjata paling ampuh tuk memenangi peperangan melawan virus-virus kebodohan yang gesitnya bagai udara yang terhirup. Semoga kita terhindar dari apa yang tidak kita harapkan.
Tell me what your opinion?
Jemputan Pak Min, 07.31
Menuju kantor, aku sudah kangen enenk n abank.
Apa yang terbersit di kepala anda bila mendengar kata ini? Sebuah dosa, sebuah kesalahan, kebohongan, ketidaksetiaan, kemarahan, kecurangan, keberanian, kekuasaan, kepuasan, keangkuhan, atau harga diri. Atau ada yang lain?
Secara riil, saya belum pernah mendengar cerita sahabat atau orang-orang terdekat tentang pengalaman berselingkuh atau diselingkuhi. Saya hanya mendapatkannya dari berita-berita di televisi (ini menjadi salah satu penyebab suami berani membunuh istrinya, atau sebaliknya, astaghfirullah!), atau melalui cerita-cerita dari berbagai media yang saya baca. Kesimpulan dari semua itu selingkuh adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.
Bukan hanya bagi orang yang diselingkuhi (object) tetapi juga bagi orang yang berselingkuh (subject). Selingkuh menyakitkan. Karena apa? Karena si subject dengan sadar dan dengan sengaja membohongi diri sendiri, hatinya sendiri (ini yang paling menyakitkan dan menyusahkan) dan orang yang sangat dicintainya. Sedangkan bagi si object rasa dikhianati tidak ada yang mengalahkan rasa sakitnya, kecuali sakit saat ruh diangkat dari jasad, seperti dikuliti perlahan dari kaki hingga kepala, seperti tubuh dibacok perlahan dengan golok atau samurai paling tajam di seluruh dunia. Menyakitkan. Bersangatan. Imbas dari kegiatan ini siapapun bisa melakukan apa saja agar bisa menghilangkan rasa sakit itu. Satu diantaranya adalah cerai, kehalalan yang paling tidak disukai Allah. Na’udzubillah!
Beberapa bulan yang lalu, ketika sedang di warung makan, kudapati seorang lelaki sedang bercerita dengan gagahnya (hingga terdengar jelas ke mejaku) di hadapan teman-temannya (lebih dari lima orang), bahwa ia pernah beberapa kali selingkuh (matanya berbinar saat mengatakan ini). Baginya, membohongi diri dan hatinya adalah sebuah nilai lebih bagi eksistensi kelelakiannya. Ia bahkan sudah memiliki beberapa trik jika gelagat ini tercium oleh pasangannya. Apakah ini sah? Tentu saja kembali lagi ke prinsip hidup masing-masing. Karena mau tak mau, di zaman yang sudah sangat individualis ini, selingkuh telah menjadi gaya hidup. Ufh!
Tidak hanya perempuan, yang terkadang dikonotasikan menjadi “korban” dalam hal ini, yang was-was, takut, curiga, pasangannya bermain hati dengan orang lain. Para lelakipun kini tak kalah khawatirnya, apakah sang istri benar-benar setia atau malah memainkan cinta di belakangnya. Sekali lagi, mau tak mau saya harus mengatakan selingkuh telah menjadi gaya hidup, yang entah, import dari negara mana. Antah berantah.
Bagi saya sendiri, selingkuh adalah sebuah kesadaran. Kesadaran untuk bermasalah. Bermasalah dengan Tuhannya, pasangannya, anak-anaknya, ibu-bapaknya, mertuanya, dan tentu saja dengan dirinya sendiri. Karena siapapun sadar, bahwa dikhinati adalah sebuah kesakitan yang luar biasa. Siapapun, laki-laki atau perempuan, jika bisa memilih, pasti inginnya disetia-i, tidak ingin ada dalam kamus hidupnya untuk bersiap-siap dibohongi. Siapapun sadar, bahwa mencintai dan dicintai adalah sebuah nikmat luar biasa, sebuah amunisi hidup yang tak lekang waktu, sebuah senjata paling ampuh tuk memenangi peperangan melawan virus-virus kebodohan yang gesitnya bagai udara yang terhirup. Semoga kita terhindar dari apa yang tidak kita harapkan.
Tell me what your opinion?
Jemputan Pak Min, 07.31
Menuju kantor, aku sudah kangen enenk n abank.
hmm! duhai Allah! jauhkan aku dari apa yang tidak aku harapkan
BalasHapusJey, baru dapet kesempatan skr buka blog km.
BalasHapusitu jg gara2 liat fb km. nice post...
aku suka kesimpulan km bahwa selingkuh merupakan sebuah kesadaran. kesadaran untuk bermasalah. Dan rasanya sangat-sangatlah menyakitkan... tmnku yg saat ini sedang selingkuh pun dengan sadar mengatakan bahwa diapun merasakan kesakitan yg sama saat sadar telah menyakiti perasaan pasangannya.
Apakah benar hipotesa Azizah bahwa "mau tak mau, di zaman yang sudah sangat individualis ini, selingkuh telah menjadi gaya hidup".
BalasHapusKalau sudah masuk pada tataran gaya hidup lambat laun akan menjadi budaya. Pada saat telah menjadi budaya maka perbuatan atau tingkah laku seperti itu orang akan menyebutnya bukan "selingkuh" tetapi "salingbutuh" Nauzaubillahi min dzalik. Qul ja alhaqqu wazahaqal bathil !
4 anonim: hm. sebenarnya yang terjadi pada temanmu adalah sadar melakukan kesalahan. dan banyak lelaki menikmati ini
BalasHapus4 Banta Saidi (Bapak KPTA Ambon): ihdina ash-shiratal mustaqiiim.......
BalasHapuslive just a choice...... Allahumma arina al-haq Haq warzuqna at-tiba'ah, wa arina al-batila batila warzuqnajtinabah