SEBUKET CERITA SEBAGAI HUMAS "DARI TAKUT MATI HINGGA TAK GENTAR KARENA VIRUS"

picture by @witanto_sang_penulis


Sejak tahun 2009 saya bertugas di bagian Humas di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tugas itu seputar meliput kegiatan, menulis berita, dokumentasi foto, melayani pers, mengelola web dll. Dari rentetan kegiatan itu, saya sangat menikmati proses belajar dan berkarya di bidang yang membuat saya semakin ingin berbuat banyak di dalamnya.

Dari aneka tugas dan pengalaman yang ada, banyak sekali rasa dan pengalaman saya jumpai, rasa suka duka, senang susah, dan lain-lain. Terkait suka rasanya tidak terhitung banyaknya, mulai dari aneka perjalanan ke dalam dan luar kota untuk meliput, ragam karakter narasumber yang semuanya memberikan ilmu, belum lagi guru-guru dadakan yang ilmu dan hikmahnya bebas saya ambil, semua membuat saya semakin senang berada di posisi ini. Kemudian jika  berbicara dukanya, memang tidak sebanyak sukanya, untuk itu saya bisa ingat dengan baik kapan momen duka itu saya dapati ketika bertugas. Sependek ingatan saya, paling tidak ada tiga kali momen di mana saya bekerja sambil bertetesan air mata. Kenapa? Dimarahin atasan?  Hehe, bukan! Dijulidin teman? Bukan juga! (InsyaAllah untuk dua hal ini saya sudah khatam dan tidak perlu air mata untuk menanggapinya).

TAKUT MATI

Momen pertama saya menangis adalah saat meliput kegiatan penyerahan sumbangan dana kepada para keluarga hakim yang menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di perairan Karawang pada Senin 29 Oktober 2018. Sebagaimana ramai diberitakan di televisi dan media online, bahwa pesawat rute Jakarta-Pangkal Pinang tersebut membawa kurang lebih 189 penumpang plus awak pesawat. Pesawat hancur dan innalillah, semua yang ada di dalamnya wafat. Di antara lusinan korban tersebut terdapat beberapa orang hakim yang akan melaksanakan tugas di Pangkal Pinang.

Kegiatan  pemberian bantuan dilaksanakan di hotel Borobudur Jakarta. Pimpinan Mahkamah Agung yang langsung memberikannya kepada kelurga korban yang hadir. Mereka itu terdiri dari bapak/ibu, istri/suami, cucu/cicit, bahkan hingga balita yang ditinggalkan oleh para almarhum.

Sedari tiba di lokasi, ambience ruangan sudah terasa berbeda. Saya merinding. Saya gemetar memegang kamera. Tetiba terbayang bagaimana jika saya adalah salah satu di antara mereka, di mana salah satu anggota keluarga pamit untuk bertugas namun nahas, wafat di tengah perjalanan dengan kondisi jenazah yang tidak akan pernah ditemukan utuh. Hatiku basah.

Tak lama setelah saya tiba di lokasi acara, jajaran pimpinan MA masuk ke dalam ruangan. Mereka menyalami satu persatu keluarga hakim korban jatuhnya pesawat Lion Air tersebut. Ungkapan belasungkawa dan pesan kesabaran disampaikan para  pimpinan Mahkamah Agung kepada satu persatu mereka. Mereka ada yang terdiam tidak tahu harus menjawab apa atas ungkapan pimpinan MA tersebut, ada yang menangis bahkan ada yang hanya mengangguk dengan mata berkaca saking tidak tahu harus bagaimana bersikap.

Lalu keadaan menjadi senyum penuh air mata ketika seorang Ibu disalami oleh Pimpinan MA, kemudian Ibu tersebut meminta balita yang digendongnya untuk salim dengan pimpinan MA. Namun, balita lucu dan cantik itu menolak salim malah minta pindah ke gendongan Ketua MA. Dengan penuh kasih sayang, seakan itu adalah cucunya sendiri, Ketua MA tanpa canggung langsung menggendong balita tersebut. Balita cantik itu senang bukan main, senyum merekah di wajahnya. Kameraku bergetar. Mataku menderas. Kulihat sekelilingku, mereka sibuk menyeka mata masing-masing. “Kasihan, dia tidak tahu, dia tidak akan pernah bertemu dengan bapaknya lagi,” kata salah satu di antara mereka yang tisyunya lepek

berikut terlampir link beritanya, click please!

Ketua MA menggendong putri dari salah satu hakim korban jatuhnya pesawat lion air. (picture taken by  me)
https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/3279/ketua-ma-menyerahkan-sumbangan-dana-kepada-keluarga-hakim-korban-jatuhnya-pesawat-lion-air




Peristiwa kedua yang membuat air mata juga tak henti menetes adalah ketika meliput wafatnya putra sulung Ketua Mahkamah Agung. Tugas meliput berhari-hari ini bukan hanya membuat mataku basah tetapi juga membuat jiwaku terteror.  Karena dari peristiwa ini aku jadi takut pergi jauh, takut mati tidak di tengah keluarga, sumpah mati, aku takut mati kala itu. Sehingga imbasnya dalam tiga hari meliput peristiwa tersebut aku tidak bisa tidur.

Kok bisa tiga hari? Iya, begini ceritanya. Berita wafatnya Mas Irfan, begitu biasa beliau disapa, adalah malam kamis. Mas Irfan meninggal di Namibia, Afrika Selatan saat sedang touring bersama teman-temannya. Saya mendapatkan pesan tersebut melalui group WA Biro. Saat itu, saya bacakan alfatihah semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan ketabahan. 

Besok paginya, Kamis. Ketika sampai di kantor, atasan memerintahkan saya dan tim untuk meliput di kediaman Ketua Mahkamah Agung. Tim pun berangkat. Sedari masuk ke komplek perumahan dinas Widyacandra sudah banyak bunga papan ucapan turut berbela sungkawa, suasana duka sangat terasa. Ketika masuk ke kediaman badanku lemas, air mata sebisa mungkin kutahan (meski gagal). Tak pernah sebelumnya aku melihat sosok Ketua Mahkamah Agung yang gagah, tegas dan disiplin tersebut menangis. Tak tega rasanya. Setiap ada tamu yang datang menyampaikan duka, beliau pasti menangis. Kejadian ini membuatnya sangat terpukul, juga membuatku yang melihat langsung kejadian ini sangat terpukul. Betapa kematian adalah misteri. https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/3621/keluarga-besar-ma-turut-berduka-cita-atas-meninggalnya-m-irfan 

Kemudian di hari kedua, Jum’at. Aku dan tim diminta kembali meliput ke kediaman Ketua Mahkamah Agung. Jenazah belum juga datang. Pengiriman jenazah memerlukan proses yang cukup banyak dan panjang, karena memang beda negara dan beda benua. Di hari kedua ini, para tamu juga tak henti datang menyampaikan belasungkawa, salah satu di antaranya adalah Presiden Joko Widodo. https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/3622/presiden-jokowi-melayat-ke-kediaman-ketua-mahkamah-agung

Dua hari di rumah duka. Nafsu makanku hilang. Tidurku menjadi gelisah. Karena selama itu aku menyaksikan sendiri,  bagaimana kesedihan keluarga besar menantikan kedatangan jenazah, sekali lagi jenazah, yang ketika datang pun tidak bisa berbuat apa-apa, hanya jenazah. Hati dan mataku tak kering-kering. Aku semakin takut mati. Mati tidak di tengah keluarga.

Hari ketiga, Sabtu, seluruh tim turun. Dikabarkan jenazah akan dating pagi. Tim liputan dibagi tiga, di kediaman, di masjid tempat jenazah akan dishalatkan, dan di pemakaman, aku kebagian di kediaman.

Kurang lebih pukul 11 pagi. Jenazah datang. Suara tangis pecah. 

Seluruh bagian rumah baik bagian dalam maupun luar penuh dengan tamu dan saudara yang ingin melihat jenazah Mas Irfan. Keadaan gaduh, karena semua ingin masuk, dan membuatku sempat tidak bisa masuk. Alhamdulillah Bagian Keamanan kantor yang juga bertugas di kediaman bisa membantuku, dan akhirnya aku bisa masuk dengan mata yang tidak kering-kering.

Karena satu dan dua hal, proses penyolatan jenazah yang awalnya akan dilakukan di masjid, ditetapkan dilakukan di rumah kediaman. Maka, dari kedatang jenazah, penyolatan, dan pemakaman aku menyaksikan semua. Alhamdulillah berjalan lancar dengan air mataku juga yang lancar. Aku hampir tidak kuat  menekan shutter, namun kupaksa kuatkan karena ini tugas. Kurang lebih hampir tiga bulan setelah kejadian ini, aku selalu beralasan untuk diberikan tugas meliput keluar kota. Aku takut mati tidak di tengah keluarga, tidak di antara orang-orang tersayang. Innnalillahiwainnailahirajiun.

TAK GENTAR KARENA VIRUS

Tugas ketiga yang membuatku sedih juga adalah tugas meliput pemilihan Ketua Mahkamah Agung pada 6 April 2020. Peristiwa lima tahun sekali ini wajib dilaksanakan agar tidak ada kekosongan pimpinan di MA, tahun ini meski di tengah gencarnya pandemi Covid-19, pemilihan tetap dilakukan dan tetap harus diliput.  Aku bersama tim fotografer dan videografer ditugaskan meliput. Tim yang turun untuk kegiatan seperti ini biasanya 7 orang (penulis berita,foto, video, koordinator pers), namun karena menuruti protokol kesehatan saat ini hanya ditugaskan tiga orang.

Air mataku spontan menetes saat menyanyikan lagu Indonesia Raya di awal acara. Lagu yang biasanya membuat jiwaku berbuncah itu tiba-tiba membuatku mellow. Hal ini terjadi, karena acara yang biasanya dipenuhi oleh berbagai undangan dan media ini, kini hanya dihadiri oleh hakim agung dan para petugas yang jumlahnya sangat dibatasi. Proses masuk pun sangat ketat, cek suhu badan, harus bermasker, harus bersarung tangan dan harus duduk berjarak. Keadaan ini membuat Gedung KusumahAtmadja yang megah menjadi sedikit mencekam. Pandemi covid-19 membuat kami tetap harus membaktikan diri untuk negara di tengah kekhawatiran kami masing-masing yang hadir, karena korban meninggal semakin hari semakin banyak. Namun bismillah… insyallah semua aman.

azh in action amid covid-19 (picture taken by mas2 yang gak tau namanya)
 https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/4080/dengan-mematuhi-protokol-covid-19-mahkamah-agung-selenggarakan-pemilihan-ketua-mahkamah-agung-periode-2020-2025

https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/4081/seluruh-hakim-agung-memiliki-hak-untuk-memilih-dan-dipilih-menjadi-ketua-mahkamah-agung

https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/4082/dr-syarifudin-terpilih-menjadi-ketua-mahkamah-agung-priode-2020-2025

Begitulah sebuket cerita behind the scene berita-berita yang tayang di web Mahkamah Agung dengan inisial azh

Selamat membaca! 

Salam, azh (Azzah Zain Al Hasany)

 

 

 

Komentar

  1. Luar biasa ibu azizah dedikasi dan perjuangan pekerjaan yg sangat inspiratif dan menggugah semangat dalam suatu pekerjaan

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih Mas, semoga kita semua diberikan kemudahan oleh Yang Maha Kuasa untuk memaksimalkan kemampuan yang Tuhan berikan pada kita y

      Hapus
  2. Balasan
    1. hehe, makasih sudah membaca ya Mba. semoga Humas-humas pemerintah senantiasa Tuhan berikan kesehatan terbaik agar bisa berbakti sebaik-baiknya bagi negara

      Hapus

Posting Komentar