Saat
tahu aku hamil, Umi senang. Saat
tahu jenis kelamin calon anakku adalah laki-laki, Umi
senang, senang sekali. “Emang itu yang gua minta.[1]”
kata umi dengan gaya betawinya.
Waktu
aku melahirkan, Umi dan jama’ahnya berkumpul di rumah bersalin di mana aku
berada. Dipimpin umi, mereka membaca yasin, tahlil dan tahmid di ruang sebelah
(sumpah, ini horror banget, berasa aku udah sekarat mau mati).
Namun, begitulah cara Umi membuang rasa takutnya, meneguhkan keyakinan agar semua proses bersalinku lancar dan selamat, serta tentu saja cucu yang ditunggu-tunggunya sehat dan selamat tanpa kurang apapun. Benar saja, ketika si cucu sudah lahir, aku cuma kebagian melihat yandanya sambil gemetar dan tetasan air mata menggendong bayi laki-laki merah, lalu mengazankan dan mengiqamahkan, sebentar kemudian jatahku memberi kolostorum. Setelah itu, diambil oleh Umi.
Ketika
sudah pulang dari tempat bersalin, setiap ada tetangga, saudara yang menjenguk,
pasti Umi yang sumringah cerita. Apapun tentang cucunya itu diceritakannya menggebu-gebu dengan
senyuman. Umi senang bukan main. Ketika Abank (panggilan Umi untuk cucu yang dinantinya itu)
sudah bisa berjalan, kemanapun Umi pergi pasti dibawa sertanya Abank, seperti ngaji,
kondangan, arisan, jenguk orang pulang haji, dll. Umi senang karena Abank mudah
bergaul dan tidak rewel. Apalagi wajahnya yang sumringah, membuat siapapun mau menggoda
dan bermain dengannya membuat Umi
tambah kesenengan.
Semua
perkembangan Abank Umi yang tahu, langkah pertama, celoteh pertama, kata
pertama, joget pertama. Umi senang ketika Abank senang, Umi sedih ketika abank
sakit, jatuh (apalagi klo ada yang berdarah), tidak diajak main sama
teman-temannya, dan semua yang membuat
abank sedih. Abank tahu kalo disayang sebegitunya
oleh Umi, makanya ketika ada sesuatu yang aku larang, dia akan ke pembelanya,
Umi. Ketika menginginkan sesuatu yang tidak didapatknya padaku dia akan pergi
ke umi sang pengabul, ketika sedih dia akan ke umi sang penyayang.
Semakin kesini, corak hubungan mereka makin beragam.
Contohnya
seperti barusan, di saat tambahan usiaku yang ke 35, si Abank menghadiahiku
sebuah tangisan. Padahal di usianya yang
ke 10 ini, jarang sekali dia menangis, terakhir kali si Muhammad Kaka itu (salah
satu panggilanku untuk si Abank) menangis di 7 Agustus lalu, saat kuberi hadiah
sebuah surat sebagai kado ultahnya, dia menangis sesegukan sambil memelukku
setelah tamat membacanya. 

Abank menangis di sore hari tepat di hari ulang tahunku karena tidak diizinkan Jiddah (panggilannya untuk Umi) bermain dengan I dan A. Menurut hasil penelitian Jiddah (anggaplah begitu) I dan A tidak mau sholat, tidak mau mengaji. Maklum rumah Jiddah depan masjid, pas pula kamar jiddah berhadapan langsung dengan halaman masjid, wajar klo Jiddah sering penelitian (anggaplah begitu) di situ. “Tuh bocah dua klo azan bukannya masuk masjid, malah lari.” Kata Umi.
Padahal sore itu Abank sudah siap dengan Nerf dan Bumko koleksinya untuk dipinjamkan ke I dan A, lalu bersama-sama bermain tembak2an. Keseruan yang telah tercipta diimajinasinya, dihancurkan Jiddah, yang teriak dari jendelaaa “Abank, main di rumah aja, gak boleh main sama dia, dia gak sholat”.
Abank
mematung. Apapun yang dilarang
Jiddah, Abank tak bisa mengelak serupa dia tak bisa mengelak kenikmatan apapun
yang dilimpahkan Jiddah padanya (untuk yang ini bejibun contohnya, misal klo Jiddah punya makanan enak, yang dipanggil Abank, Jiddah punya uang, yang diingat Abank, Jiddah pergi kemana-mana, Abank tak pernah terlupa, dll. belum lagi kalau Abank berprestasi kayak puasa full, hafal surah-surah.... Jiddah sudah siap dengan hadiah yang aku sebagai anaknya gak pernah dibegituin. kasian).
Kurang lebih 10 menit Abank mematung melihat I dan A yang sudah menunggu depan rumah pergi satu persatu. Ketika kuhampiri, Abank diam saja, geming, aku tahu perasaannyaa, sangat tahu, kutahu rasanya, pernah merasakannya, karena sejak dulu Umi sangat ketat memilihkan teman bermainku, teman bermain adik2ku. Kini, peraturan itu diterapkan ke Abank, Jiddah merasa perlu ketat memilihkan teman bermain Abank, cucu pertamanya, cucu laki2 impiannya, cucu kepengenannya, cucu yang selalu menyita perhatiannya.
Kurang lebih 10 menit Abank mematung melihat I dan A yang sudah menunggu depan rumah pergi satu persatu. Ketika kuhampiri, Abank diam saja, geming, aku tahu perasaannyaa, sangat tahu, kutahu rasanya, pernah merasakannya, karena sejak dulu Umi sangat ketat memilihkan teman bermainku, teman bermain adik2ku. Kini, peraturan itu diterapkan ke Abank, Jiddah merasa perlu ketat memilihkan teman bermain Abank, cucu pertamanya, cucu laki2 impiannya, cucu kepengenannya, cucu yang selalu menyita perhatiannya.
Lalu dengan langkah gontai Abank berjalan ke dalam rumah, menelungkupkan wajahnya ke bantal sofa. Dia menangis. Aku diam saja sambil membelai kepalanya. “Main HP gak boleh, main sama temen-temen gak boleh, bete aku” kata Abank dalam tangisnya.
“Abank
tahu kan maksud Jiddah?” kataku
“Iya.
Tapi, lama-lama Indonesia akan terpecah belah kalau kayak gini Bunda.”
Sepersekian
detik aku geming, mencerna omongannya. Lalu tanpa sengaja aku tertawa. Lalu
karena merasa tidak tepat, aku tahan sekuat tenagaku agar tidak keluar tawaku,
padahal sangat ingin. “Tahu apa bocah 10 tahun tentang pecah belahnya
Indonesia?” kata otakku.
“Aku
sebel sama Jiddah, gara-gara Jiddah, Indonesia bisa jadi terpecah belah Bunda.” Dia
masih menangis. Rupanya kecewa berat dia akan perlakuan Jiddah terhadap dua
temannya itu. Lalu aku tinggalkan dia menyiram pohon-pohon. Abank masih menangis.
“Orang itu akan bergantung kepada siapa dia berteman, klo lu main sama tukang minyak tanah, lu bau, klo lu main sama tukang parfum, lu wangi” sambil menyiram pohon kalimat ini tetiba mengalun di otakku. Kalimat ini dulu waktu aku kecil disampaikan Umi ke adikku yang saat itu tidak dibolehkan main dengan teman yang sudah janjian akan bertemu di suatu tempat. Sama seperti Abank, saat itu adikku menangis.
Aku sendiri, sejak dulu, tak bisa banyak berbuat atas aturan yang Umi buat. Termasuk masalah memilih teman. Shalat dan mengaji menjadi ukurannya menilai orang. baik buruk seseorang dilihat dari shalatnya, dari mengajinya. Dari dulu. Hingga aku sudah menjadi emak-emak pun ukuran itu pun masih berlaku.
Minggu,
10 September 2017. 21.23.
Sekarang Abank sudah tidur. Sebelum tidur aku bilang, “Abank tahu kan Jiddah sayang banget ke Abank”. Si Abank mengangguk. “Jangan marah sama Jiddah y, nanti Abank pasti ngerti kenapa Jiddah kayak gitu.” Dia jawab. “Iya Bunda”.
Sekarang Abank sudah tidur. Sebelum tidur aku bilang, “Abank tahu kan Jiddah sayang banget ke Abank”. Si Abank mengangguk. “Jangan marah sama Jiddah y, nanti Abank pasti ngerti kenapa Jiddah kayak gitu.” Dia jawab. “Iya Bunda”.
[1] Sedari dulu aku selalu
suka dengan ke-PD -an umi dalam hal keimananya akan dikabulkan-Nya semua
permintaannya. Termasuk masalah di atas, waktu Abank usia sebulan, ketika abank
sedang tidur, Umi cerita padaku bahwa setelah tahu aku hamil, salah satu
permintaanya di setiap kelar tahajjud, ngaji, dzikir sore, dzikir pagi dan
semua waktu mustajab adalah diizinkannya memiliki cucu laki-laki. Impiannya sejak lama, karena penasaran semua anaknya perempuan.
Komentar
Posting Komentar