BROMO, MAHAR JINGGA, DAN BUKAN ORANG KETIGA


Cantik. Damai. Menantang. Keren. Itulah gambaran Gunung Bromo, siapapun yang suka keindahan pasti ingin menaklukannya.

Di medio 2013, Alhamdulillah rasa penasaran saya akan Gunung Bromo di Jawa Timur Indonesia terpuasi. Rangkaian info yang tertabung di memori, sedikit demi sedikit menemukan nyatanya. Meskipun saya akui tidak semudah yang saya bayangkan di awal. Bukan hanya jauh dan  menanjak jalan menuju puncak Bromo, undakan berpasir membuat kaki lebih berat melangkah dan berkali kali membuat saya hendak mundur dari pendakian padahal keindahan puncak belum lagi terlihat. Lain cerita dengan buketan Edelweiss cantik yang membuat diri terasa rugi jika tidak sekedar membelainya. Atau banyaknya pendaki lain yang selalu menarik hati untuk bertukar sapa dan cerita sehingga melalaikan tujuan awal meraih puncak Bromo. Hingga akhirnya puncak itu bisa terengkuh adalah perjuangan. Air mata penuh senyum menemani kemenangan ini. Ah Bromo. Jika ada kesempatan ke sana lagi, pasti saya tidak akan menolaknya.

Sama seperti Bromo, cinta dan penasaran terhadap Novel Mahar Jingga karya guru multi talent, Bapak Moch. Syarief Hidayatullah (salam takzim, Bapak) sudah tumbuh subur dalam sanubari sebelum novel tersebut "lahir" secara utuh. Sang penulis sering kali “promosi” cerita tersebut di sela-sela jam ngajarnya di kelas di mana saya menjadi salah satu muridnya. Berkat kelihaiannya “menjual”  novel yang dilabelinya dengan “novel poligami” ini, sang guru mampu membuat saya berazzam dalam diri jika bersua nanti dengan novel tersebut pasti akan saya lahap habis dalam satu kesempatan. Benar saja, sebagai pembaca setia novel, membaca novel 172 halaman bukanlah hal sulit. Namun, tentu saja serupa ingin menaklukan Bromo, segala sesuatu pasti ada tantangannya, begitu pula untuk menaklukkan Novel ini . Live is climb, kata tukang panjat.



Sedari awal membaca saya merasa diberi hadiah besar. Turki, salah satu negara impian yang ingin saya taklukkan, dijadikan penulis sebagai pembuka cerita. Tentu saja, hal tersebut makin menambah semangat saya untuk membacanya. Penulis lihai bukan main menjabarkan Turki sebagai setting, membuat pembaca hanyut dengan keindahan kota klasik nan modern itu.

Meski begitu, indahnya Turki tak sejumputpun bisa dinikmat Nizam -tokoh utama, seorang eksekutif muda, penulis, ganteng, kaya dan baik hati-. Nizam yang sedianya menjadi pembicara dalam acara Motivasi dan Trik Menulis bermuram durja. Pikirannya kalut akibat masalahnya dengan Sabria, sang Istri. Walau pikirannya kacau, Nizam sukses mengisi acara dan kunjungan diakhiri dengan mengelilingi Istambul dan wisata kuliner, tetap saja Nizam tak kuasa menikmatinya.

Azzam saya tiba-tiba mengendur. Berkat kelihaian memainkan rasa, penulis sukses membuat saya juga tidak menikmati indahnya Turki, bahkan hampir menutup novel tersebut. Kesenangan saya berganti dengan emosi dan camukan pikiran Nizam. Bagaimana tidak, cantiknya kota di depan mata berganti dengan 3 perempuan yang tengah menguasai otak dan hatinya, mereka yaitu Nafisah (Ibu kandung), Sabria (istri) dan Nadya(bakal istri kedua). Nizam terfikir Sabria yang belum merestuinya untuk poligami, teringat Nadya yang juga ingin dibahagiakan dan di”miliki”, dan pesan Ibu yang terngiang-ngiang agar jangan mengecewakan perempuan yang telah berkorban jiwa raga untuknya. Poligami dalam novel ini digambarkan sebagai masalah dengan lingkup skala besar bukan hanya suami, istri dan orang ketiga.

Meskipun tahu sedari awal bahwa ini novel poligami, tetap saja tema ini mengundang emosi saya sebagai pembaca perempuan. Perempuan “biasa” tentu saja. Dan menghadapi konflik yang terdapat dalam cerita tersebut membuat saya hampir putus asa menamatkan novel dengan cover cantik karya Adinda Pradista Cyntalia (huge appreciate for you).

Tapi, -lagi-lagi kelihain penulis dalam mencipta tokoh rekaannya, Sabria mencipta emosi itu perlahan memudar dan meningkatkan azzam tuk lanjut membaca. Sabria –cantik, cerdas, ibu rumah tangga- dibuat penulis semakin istimewa karena dalam menanggapi masalah yang sangat sensitive bagi kaum hawa ini dengan logika bukan emosi, sesuatu yang selama ini dilekatkan dengan perempuan. Saya sangat cinta dengan dialog antara Sabria dengan Nizam via telpon saat membahas masalah mereka “sebagai istri, aku pasti ingin aku saja yang bersemayam di hatimu. Tapi sebagai wanita, aku punya logika untuk berpikir. Silakan jika Mas ingin menikah lagi, tapi ingat, akan ada konsekuensi besar yang menanti keputusan Mas. Dan itu bukan hanya menimpa Mas, tapi juga orang-orang di sekitar Mas.” (h. 14).

Sabria membuat saya makin memantapkan niat yang sudah terpatri, pantang selesai sebelum sempurna. Dengan emosi yang meletup letup saya tetap melanjutkan kisah Nizam yang berkali-kali tidak bisa memberi jawaban kepada Sabria mengenai apakah ia akan tetap berpoligami atau tidak. Penulis berhasil membuat pembaca geram di sini, betapa tidak. Nizam digambarkan sebagai sosok laki yang kaya, cerdas, sukses, baik hati, rajin nabung, dan tidak sombong, tapi untuk menjawab hal "temeh tapi berat" itu butuh banyak sekali pertimbangan, padahal:

1. Ia tidak tega membut Sabria sedih.
2. Nafisah, Ibunya tidak mengizinkannya menikah lagi. (hal 123)
pesan Kiai Ali untuk Nizam
3. Ayahnya pun tidak menyetujui rencana poligami. Ada satu ucapan sang ayah yang teringat Nizam terkait permintaannya akan mendua “siapa yang menanam, pasti menuai. Siapa menantang ombak, akan dihadang badai. Siapa yang bermain-main di wilayah terlarang, dikhawatirkan akan terjerumus.” 
Belum lagi pesan-pesan dari orang-orang terpercaya Nizam terkait niatnya itu yang mayoritas tidak menyetujuinya, seperti Kiai Ali yang sengaja ditemui Nizam untuk meminta "fatwa" terkait keinginan poligaminya, Pendapat Amanda, teman baiknya atau yang lainnya. 

Bagaikan jalan berpasir menuju puncak Bromo, konflik ini membuat saya semakin tertantang untuk menghabisinya. Dipadu padan dialog-dialog renyah antara Sabria dan teman-temannya yang gaol menjadi oase dari konflik tak berkesudahan, bak penjual bunga edelweis yang menawarkan keindahan sebelum menuju puncak Bromo.

Kehadiran Nadya (Cantik, cerdas, mahasiswi, penulis, aktivis kampus) bakal orang ketiga, menjadikan novel ini seperti memiliki undakan-undakan yang harus dilewati sebelum menuju puncak bromo. Undakan tersebut yang membuat saya sebagai pembaca bisa seperti mendapatkan jeda untuk sesekali saling sapa dengan pendaki lain kala di Bromo, sehingga tidak terkungkung dengan kelelahan dan ketakutan pemahaman sendiri. Nadya memberi pemahaman bahwa orang ketiga tidak mau dijadikan kambing hitam, bahwa orang ketiga juga punya hak untuk mencintai dan dicintai, bahwa orang ketiga juga punya mimpi dan berhak untuk berusaha mewujudkan mimpi itu dan bahwa orang ketiga tidak mau disebut sebagai orang ketiga.

Tentu saja sebagai pembaca (yang perempuan) merasa senang bukan main karena akhirnya Nizam berani ambil keputusan untuk tidak jadi berpoligami dengan alasan tidak mau menyakiti hati sabria yang selama ini telah begitu besar cinta dan pengorbanan yang diberikan untuknya.

Over all, novel ini laik dibaca oleh mereka yang masih atau tidak menganut monogami,. Yang jelas, novel yang diterbitkan oleh Gramedia ini mengajarkan “how to see and practice polygamy well”. Dan sama seperti Bromo, novel ini  menarik untuk dibaca lagi dan lagi.

"Ketika cinta yang indah justru lahir dari biduk yang terkepung banyak gelombang". Syarief Hade. 



Happy reading, 

Azzah zain alhasany 

Komentar