ARTIDJO, GW BANGET.



“Artidjo itu cuy, gw banget!”
Banyak teman yang menanyakan kenapa? Dan ini jawabanku.

Di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia yang semakin menggilai materi, dan di antara para “orang besar” yang gemar memamerkan kekayaan, Artidjo memilih beda, sosok yang tidak pernah memikirkan brand baju, sepatu, tas atau apapun itu memilih hidup apa adanya dan tidak neko-neko.
Mantan pengacara yang kini menjabat sebagai hakim agung itu adalah sosok cerdas, baik, berani, tidak pandang bulu dan teguh memegang prinsip. Polyglot yang juga alumnus Fakultas Hukum Northwestern Universitas Chicago ini selalu memperjuangkan sesuatu yang menurutnya benar. Kariernya sebagai hakim agung menempatkan Artidjo sebagai sosok yang bukan hanya rela jauh dengan keluarga, teman dan saudaranya, tetapi juga Artidjo harus mengubah prilakunya, misalnya Beliau harus membuang kesenangannya menghabiskan waktu kongkow-kongkow bareng teman-temannya, karena menurutnya menjadi hakim haruslah netral, tidak boleh memihak kepada pihak manapun. "Dulu waktu saya jadi pengacara, saya sering bagi-bagikan kartu nama kepada siapapun yang baru dijumpai, kini setelah menjadi hakim agung, kepada yang sudah kenal pun saya menjaga jarak, hakim itu harus independen, tidak boleh bergantung kepada siapapun, agar putusan yang dikeluarkannya bisa pure. Tidak karena apa atau siapa." Jelas Artidjo.

Belakangan, karena perkara yang ditanganinya –seperti kasus Angelina Sondakh, Kasus Dokter Ayu dan yang lainya- nama Artidjo mulai diketahui publik. Beragam media mewawancarainya dan beberapa stasiun televisi swasta mengundangya untuk acara talk show. Banyak yang mengelu-elukannya, banyak pula yang mencibir. Tentu saja di sini sama sekali tidak akan membahas cibiran itu, tidak ada manfaatnya. Saya hanya ingin berbagi inspirasi bagi mereka yang yang kehausan figure teladan, bagi mereka yang kehilangan jati diri. Bahwa masih ada loh, sosok yang bisa dijadikan teladan, bisa dijadikan contoh. Nah, mereka yang pro bahkan mengatakan Artidjo yang tegas dan berani itu pantas masuk bursa capres 2014. Hal ini langsug dibantah Artidjo, bahwa Beliau tidak punya bakat dan keinginan untuk menjadi politisi. Baginya mengabdi menjadi hakim agung sudah menjadi pilihan hidupnya.
LEBIH DEKAT
Nama lengkapnya adalah Artidjo Alkostar, ketika ada wartawan menanyakan apa makna nama itu,  Artidjo jawab tidak ada, “Tidak ada artinya. Ya begitu saja”. Katanya. Lahir di Situbondo, Jawa Timur pada tanggal 22 Mei 1949. Besar di keluarga petani yang sederhana, Artidjo kecil tinggal di lingkungan agamis dan berpendidikan. Ayahnya adalah seorang guru sedangkan ibunya ibu rumah tangga. Dari ayahnya, Artidjo sudah belajar tentang keadilan sejak kecil. Ketika ada teman sepermainannya bermasalah, maka sang ayah akan meminta Artidjo yang melerainya.
          Sebelum menjabat sebagai Hakim Agung, lelaki penyuka daging kambing ini berprofesi sebagai pengacara. Karena seringnya membela orang-orang yang “dilanggar” hak asasinya, Artidjo sering kali mendapatkan terror dan ancaman. Tetapi, Artidjo tidak pernah takut. “Kalau ada orang yang meneror dan mengancama saya itu salah alamat, saya tidak takut pada siapapun. Saya hanya takut pada Allah.” Kata dosen hukum UII ini di sela wawancaranya dengan wartawan.
          Sikap ini tidak berubah ketika Artidjo menjadi hakim agung. Masa awalnya sebagai hakim agung dia habiskan di rumah kontrakan di daerah kwitang. Menurut mantan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh yang merupakan kolega Artidjo, kontrakan itu berada di gang sempit dan deket kali, sangat tidak cocok bagi hakim agung selaku pejabat negara. Selain tinggal di kontrakan, Artdijo pun tak malu untuk menunggang bajaj dari kontrakan menuju kantor atau sebaliknya, baginya hidup apa adanya itu menyenangkan. Konon, kedua hal tersebut terjadi karena pada awal-awal menjabat Artidjo belum mendapatkan rumah dan kendaraan dinas. Dan kini, penyuka lagu-lagu klasik itu tinggal di apartemen yang memang disiapkan untuk hakim agung juga kendaraan dinas.
Dalam mempertahankan pendapatnya, Artidjo lebih memilih Dissenting Opinion bila ada putusan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Beliau tidak jarang mendapat cercaan karena putusannya yang dianggap tidak sesuai. Meskipun begitu banyak juga pujian yang dilontarkan masyarakat kepada Artidjo lantaran putusannya. Beragam penghargaan pernah coba diberikan kepada Artidjo, tetapi Artidjo dengan tegas menolaknya. “Hakim itu, bermimpi  mendapat hadiah saja dilarang!.” Kata Artidjo tegas.
KESEMPATAN ITU.
Terus terang saya senang berkumpul dan mendengarkan cerita orang-orang besar dengan hati besar. Dan saya senang sekali bisa leluasa masuk ruangan mereka. kesempatan itu mudah saya dapatkan karena saya mendapatkan amanah untuk mengabdi di Humas Mahkamah Agung. kesempatan-kesempatan emas itu langsung saya iyakan, ketika misalnya saya mendapat tugas untuk mewawancara, meliput kegiatan, mengantar wartawan, atau sekedar mengantar surat ke para orang besar dengan hati besar itu. Kesempatan ini jarang dimiliki oleh mereka yang bukan di Humas. Banyak sekali ilmu, hikmah dan aneka kebaikan dari mereka yang bebas saya ambil. Salah satu dari mereka adalah Artidjo Alkostar. Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung. Umurnya memang bisa dikatakan tidak muda lagi, tetapi semangatnya memberikan yang terbaik mengalahkan mereka yang muda. Bayangkan, Beliau rela diteror, dibenci kala memberikan putusan terbaik yang menurutnya adil.  
Setiap kali ada kesempatan bertemu, saya selalu usahakan mengambil apa yang saya bisa. Berikut adalah beberapa hasil curian itu:
1.   Kebenaran itu lebih tua dari kita.
2.   Kebenaran itu majemuk, dinamis, berkembang dan penuh misteri.
3.   Kebenaran itu milik semua orang, sehingga tidak bisa diklaim oleh sebagian orang. Kebenaran itu holistik, tidak egoisme.
Kata-kata ini saya ambil ketika saya meliput kegiatan Diskusi Kamar Pidana, kegiatan ini sendiri adalah prakarsa Artidjo, diadakan sebulan sekali dengan tema-tema hangat yang beragam. Selain para hakim agung, diskusi juga dihadiri para asisten koordinasi, panitera dan teman-teman wartawan. “Demen gw tiap diskusi kamar pidana, ilmunya mantap, bisa berapa SKS nih kalau di Kampus.” Ucap Gepeng, salah satu wartwawan selalu menyempatkan hadir di diskusi tersebut.
Tema yang saat itu tengah dibahas kalau tidak salah mengenai Grasi, hadir sebagai pembicara Deny Indrayana selaku Wakil Menteri Hukum Dan Ham, dan beberapa pemciara lainnya, Artidjo sendiri bertindak sebagai moderator. Caranya memoderatori inilah yang saya suka. Kata-kata di atas adalah pembuka diskusi. Dan inilah kalimat penutup pembuka itu,
"Semoga amal ibadah kita berdampak pada masyarakat." Kata-kata ini, akku banget.

Contoh curian saya yang lain adalah:
1.   Kita tidak pernah bisa berarti kalau kita tidak bermanfaat buat orang lain.
2.   Membela keadilan lebih dekat dengan takwa
3.   Hati nurani tak bisa berbohong
4.   Koruptor, sudah mati sebelum mati
5.   Membaca buku: berdialog dengan diam
6.   Hakim itu harus netral dengan dirinya, tidak boleh terbebani, tidak boleh menerima penghargaan karena mengikat, berhutang jasa.
Kata-kata wow di atas saya curi  ketika menemani wartawan yang mewawancara Artidjo untuk sebuah acara talkshow di televisi.
Hingga saat ini, di setiap waktu-waktu makbul, saya tidak lupa membawa nama Artidjo dan orang-orang baik yang ada di dunia agar selalu disayang, dijaga dan dicintai Allah, agar langkah mereka selalu diridhoi Allah sehingga kebaikan bisa bertebar di manapun. (On public Transportation, complete on July 10th 2014.)   

Azzah Zain al Hasany with Artidjo

Komentar