Resensi:
Judul buku : Kau Suami Akhiratku
Penulis : Malla Shofyan
Penerbit : The own Publishing
Jumlah hal : 35 hal
Tahun terbit : 2012
Peresesni : Azzah zain Al Hasany
ANTARA BAKAT DAN TIDAK BAKAT
SEBUAH CATATAN KECIL DARI SEORANG SAHABAT
Menyenangkan! Membaca novel “Kau Suami Akhiratku” ini sungguh mengasyikkan. Bahkan, karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, Saya harus mencuri-curi waktu untuk menyelesaikannya, novel ini berhasil membuat saya penasaran dan ingin terus mencari tahu apakah yang terjadi dengan Sarah selanjutnya. Apakah ia akan meminta cerai dari Yudistira lalu menikah dengan Rangga, atau malah memilih hidup di bawah tekanan suami yang “tidak tahu diri” sebagai bukti bahwa ia adalah anak perempuan yang menghormati keputusan ayahnya meski berbenturan dengan hatinya.
Novel inipun berhasil berkali-kali menyenggol hati saya untuk memerintahkan mata saya bertitik, Contoh ketika Rangga harus pulang dengan kekecawaan karena penolakan ayah Sarah, atau ketika Sarah harus menyimpan dalam-dalam semua “keruetan” masalah rumah tangganya sendiri. Membuat saya membenci Yudistira adalah hal lain dari efek bahwa bahasa dan alur yang digunakan membuat pembaca menuruti apa yang diinginkan penulis, tergambar jelas di sini bahwa penulis sudah sangat akrab bermain dengan kata-kata.
Hingga akhirnya saya sampai pada ending, saya sangat puas. Saya tidak kecewa, saya malah ikut bahagia seperti Sarah yang sangat bahagia dalam pelukan Yudistira. Happy ending, Sarah dan Yudistira hidup bahagia dan saling mencintai. Padahal Yudistira awalnya digambarkan sebagai sosok lelaki tanpan dan cerdas tetapi kejam, tidak pernah menghargai apapun yang dilakukan Sarah. Pada finish penulis mengubah tokoh ini menjadi lelaki yang sangat menyayangi dan menghargai privasi sarah, bahkan ia “rela” cemburu karena Sarah menangisi kematian Rangga, lelaki yang pernah Sarah cintai.
MALA, THE TALENTED!
Suatu kali saya pernah terlibat dalam sebuah bahasan alot mengenai bakat. Seorang teman mengatakan bahwa menulis adalah bakat, ketiadaan bakat membuat kegiatan menulis mustahil untuk digeluti. Saya yang merasa tidak memiliki bakat tetapi ingin bisa menulis (dan akhirnya terbukti bisa, meski masih terus belajar) membantah dengan keras. Saya katakan bahwa bakat yang bisa disamakan dengan kecerdasan hanya memiliki andil 3 % dalam sebuah kesuksesan, selebihnya adalah ketekunan, jadi siapapun yang ingin menulis (atau apapun itu) bila memiliki ketekunan pasti bisa diraih.
Terlepas dari konteks di atas, saya dibantu sebuah pengamatan mengenai penulis dan dunia tulis menulisnya –alhamdulillah, saya dikehendakiNYA untuk mengenal penulis selama enam tahun di Pondok Pesantren At-Taqwa Putri Jawa Barat– semenjak kenal, Mala -biasa kami menyapa- kerap mengisi waktu luangnya untuk menulis cerita di buku tulis khusus yang tebalnya sekitar 200 hal. Buku ini selalu di bawanya kemanapun ia pergi. Bahkan ketika jam pelajaran berlangsung, alih-alih mendengar penjelasan guru, penulis malah asyik menulis, melanglang buana dengan tokoh-tokoh rekaannya di buku khususunya itu. Kegiatan ini tidak jarang mendatangkan teguran/omelan dari sang guru, meskipun begitu semua teman sayang pada penulis, karena merekalah pembaca setia cerita rekaannya itu. Bahkan ketika kelas kosong, saling mengantri “buku khusus” itu menjadi kegiatan yang menyenangkan. Para pembaca setia menunggu dan selalu menanti-nanti apa kelanjutan ceritanya.
kawan-kawan termasuk saya sangat penasaran bagaimana Mala bisa menulis begitu? Bahasanya bagus, ceritanya mengalir, dan ceritanya mampu menambah pengetahuan kami sebagai santri tentang hal-hal yang tidak diajarkan di pesantren. Salah satunya, sepengatahuan saya, waktu itu Penulis sudah sangat fasih memperkenalkan kepada kami beragam merk mobil dalam ceritanya, padahal jarang dari kami yang “ngeh” mengenai hal yang terakhir saya baru menyadari bahwa itu penting.
Sebagian kawan-kawan mengklaim bahwa Mala berbakat. Saya terus terang mengamini itu. Terus terang kala itu di pesantren kami belum ada komputer apalagi internet. Buku-buku yang harus “dilahap”pun terbatas. Tetapi Mala dengan telaten dan tekun menulis apa yang ada dalam imajinasinya dengan rapih dalam “buku khusus” tanpa ada yang meminta, tanpa ada kejaran deadline. Mala berbakat. Mala bisa menulis tanpa pernah mengikuti kelas pelatihan menulis. Mala lahir dan Allah menitipkan bakat itu padanya. Cukupkah dengan bakat?
Ternyata bakat saja tidak menjamin seseorang bisa meraih kesuksesannya. Seperti ungkapan di atas, bakat hanya memiliki andil 30 persen dalam proses mencapai keberhasilan. Nyatanya “kekurangan” yang ada di novel “Kau Suami Akhiratku” tidak bisa diselesaikan hanya dengan bakat. Kekurangan kecil ini –seperti tanda baca, penggunaan awalan –akhiran, isi paragraf,dll- memang terlihat sepele, tetapi sangat berperan dalam hal kenyamanan pembaca. Jika pembaca tidak nyaman, bagaimana menuntut mereka untuk membacanya.
Kekurangan lain di novel ini, penulis terlihat masih bingung memilih genre. Mala inkonsisten dalam hal ini. Antara Islami atau “ngepop”. Karena jika mau digolongkan, novel ini sebenarnya selaras dengan novel-novel karya Helvy Tiana Rosa dan kawan-kawan penulis dari FLP (forum Lingkar Pena). Dan jika memang Mala memilih genre itu, kenapa ada adegan Rangga dan Sarah saling bertatapan (hal 4), Rangga meletakkan tangannya di atas tangan Sarah (hal 5), padahal dengan jelas penulis mengungkapkan bahwa mereka bukan mahram sehingga Sarah tidak sigap memeluknya (hal 4).
Saya sendiri berharap Mala bisa meramaikan dunia sastra Indonesia, Mala mau menambah “lagi” koleksi sastrawan perempuan Indonesia, Mala mau mempercantik bakatnya, Mala mau mengawinkan bakatnya dengan ilmunya, Mala mau mengeksplorasi pengetahuannya dalam cerita-cerita brilliant yang mecerahkan para pembaca setianya.
Rasanya tidak berlebihan jika Sapardi Joko Damono pernah berkata bahwa sastra Indonesia berhutang budi pada perempuan. Andil perempuan dalam perkembangan sastra dari masa ke masa memang tidak bisa dipandang sebelah mata, nama-nama seperti Ayu Utami, Dee, Abidah el Khaliqy, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan yang lainnya cukup meramaikan dunia sastra Indonesia dengan gayanya masing-masing. Dan saya yakin tidak lama lagi, nama Mala akan hadir meramaikan satra Indonesia dengan gayanya. Wallahu’alam bisshawab!
Komentar
Posting Komentar