RESENSI
Judul : Kritik atas Jilbab
Judul Asli : Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadits
Penulis : Muhammad Said al-Asymawi
Penerjemah : Novriantoni Kahar & Oppie Tj
Penerbit : Jaringan Islam Liberal dan The Asia Fondation
Tebal : 172+XV
Peresensi : Azzah Zain Al Hasany
KETIKA RAMBUT HARUS DIPERSOALKAN
Problematika pewajiban jilbab memang telah lama menjadi obrolan hangat dan bahkan kadang menjadi “panas”. Sebagian ada yang menghukuminya fardu ‘ain; kewajiban individu setiap perempuan muslimah yang sudah baligh, sehingga kemudian lahir tuduhan “keluar dari Islam”, dan mendurhakai syariat serta pantas untuk mendapatkan sanksi yang sepadan dengan sanksi ilhad (hukum bunuh), bagi muslimah yang tidak “berjilbab”. Kemudian ada pula kelompok yang berpendapat bahwa jilbab dianggap sebagai slogan politik tok, bukan kewajiban agama. Dan tampaknya isu-isu tersebut akan terus berlangsung dan bertambah seiring berjalannya proses pelestarian pendapat para mufassir terdahulu maupun kehadiran interpretasi baru cendikia kontemporer.
Sesungguhnya, prinsip dasar al-Qur’an dan cara Islam dalam aplikasi hukumnya adalah prinsip tanpa paksaan (‘adamul ikrah) sampai dalam bagian hudud sanksi pidana) sekalipun. Implementasi hukum Islam selalu saja dilakukan dengan menguatkan etos panutan yang baik (al-qudwatul hasanah), nasehat yang lembut (an-nasihatul latifah) dan wasiat-wasiat yang terpuji.
Termasuk dalam proses pewajiban menutup aurat yang bertujuan untuk menghindari syahwat dan penjagaan nama baik, Islam pun tidak memaksakan ummatnya untuk mengggunakan hijab, jilbab atau pun khimar untuk menghindari buruknya nama baik atau menjauhkan diri dari syahwat. Islam memberikan kebebasan ummatnya untuk berekspresi mencari cara bagaimana menjaga nama baiknya.
RAMBUT WANITA BUKAN AURAT
Ungkapan bahwa rambut wanita adalah aurat karena merupakan mahkota mereka, setelah itu seiring berjalannya proses penafsiran akan timbul pula pertanyaan bahwa mukanya yang merupakan singgasana, juga aurat, suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat, tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya perempuan serba aurat. Implikasinya perempuan tak bisa melakukan aktifitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.
Jika kita harus melihat kepada historisitas mengapa rambut kerap menjadi perdebatan, apakah ia harus ditutupi atau tidak. Sejak zaman dahulu, pada masa-masa sejarah purba, bangsa Mesir kuno telah mengenal suatu kepercayaan yang bersumber dari ide-ide mistik, bahwa rambut manusia adalah kekuatan dan simbol kebanggaan. Sehingga memotong rambut secara total (botak) merupakan salah satu kegiatan ritual. Atas dasar itu, memotong rambut secara total lalu menjadi tradisi bangsa Mesir Kuno-baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Kaum laki-laki biasanya menutup kepala dengan sebuah penutup yang terbuat dari kain untuk melindungi diri dari sengatan dan panas matahari. Semetara kaum perempuan juga memakai tutup kepala yang terbuat dari rajutan, yang dikenal dengan nama baruqah (rambut palsu atau wig).
Berawal dari mitos bangsa Mesir ini kemudian menyebar ke pelbagai pelosok dunia dan dicerna oleh berbagai peradaban yang saling berbeda. Maka dari itu, bukanlah suatu yang mengherankan bila Nabi Musa (Abad XIII SM) juga terpengaruh beberapa pandangan Mesir kuno. Diantaranya menutup rambut ketika berhadapan dengan Tuhan, sebagai simbol ketundukan dan kepatuhan.
Sampai saat ini, orang-orang Yahudi yang taat agama, senantiasa menggunakan songkok di atas kepala, dan perempuannya menggunakan kerudung, selama berada di tempat ibadah, ketika sembahyang, atau ketika sedang melakukan ritual-ritual keagamaan.sebagian mereka beranggapan, bahwa cara ini adalah merupakan ekspresi religius yang murni, bukan simbol politis, di mana mereka lalu bisa disebut sebagai Yahudi taat atau radikal. Perdebatan serupa mencuat juga dalam fenomena pemakaian kerudung oleh wanita-wanita muslimah.
Rambut perempuan dalam pandangan Yahudi dan Kristen, juga beberapa agama lain, tidak dianggap sebagai aurat, tetapi dianggap sebagai simbol kekuatan dan bentuk keagungan. Maka kalaupun mereka nantinya tidak menggunakan penutup rambut ketika sembahyang, sebagai gantinya mereka harus memotong rambut persis seperti tradisi Mesir kuno dulunya.
Muhammad SAW, selama hidupnya selalu menghindar dari tradisi-tradisi yang menyerupai komunitas Mekkah (kaum Musyrik) dan cendrerung lebih memilih kebiasaan-kebiasaan kaum Ahli kitab. Ketika masih bermukim di Mekah, beliau memang terbiasa mencukur rambut seperti banyak dilakukan penduduk Mekkah pada umumnya. Namun, setelah hijrah ke Madinah dan beliau mengamati kaum ahli kitab gemar memanjangkan rambut, beliau pun turut memanjangkan rambut.
Sebagaimana tradisi ahli kitab, kebanyakan kaum Muslimin juga mengenakan thaqiyyah (songkok) dan kaum muslimat menggunakan kerudung di atas kepala mereka guna menutup rambut yang selayaknya tidak ditampakkan ketika menghadap Allah. Hal ini dimaksudksan untuk mengekspresikan kelemahan, kehambaan, ketundukan serta kesederhanaan di hadapan kemuliaan Allah.
Dari sedikit uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rambut laki-laki maupun perempuan bukanlah aurat, sesuai dengan konsep agama yang benar, maupun menurut perspektif syariat yang absah. Oleh sebab itu siapapun yang mewajibkan menutupnya atas anggapan bahwa ia aurat, maka orang tersebut pada hakikatnya telah mewajibkan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan agama dan mengharuskan manusia melaksanakan sesuatu yang tidak seharusnya dilaksanakan,. Dengan perkataan lain orang tersebut telah menggantikan hukum-hukum agama, mungkin atas dasar kebodohan, kepentingan politik, motif “minyak” atau lainnya.
Jaringan Islam Liberal, mencoba untuk menghadirkan apa yang selama ini meresahkan masyarakat, terutama masalah yang sangat kontroversial ini, mengapa aurat wanita harus seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan (itu pun masih kontroversial), sedangkan laki-laki hanya sebatas pusar dan lutut. Padahal kalau mau merujuk kepada ilmu biologi bahwa kadar syahwat laki-laki dan perempuan adalah sama. Laki-laki dan perempuan mempunyai sumber fitnah yang sama, lalu mengapa seakan wanita yang lebih ditekankan untuk menutup aurat.
Dalam buku yang terdiri dari 172+XV halaman ini, penulis mencoba untuk mencari bukti-bukti yang konkrit atas kewajiban yang seakan unbalance ini, dari mulai ayat al-Qur’an surah Annisa dan al-Ahzab, yang banyak digunakan oleh para cendikiawan Islam untuk menguatkan argumentasi mereka terhadap penetapan kewajiban menutup aurat bagi seluruh wanita. Menurut penulis yang kemudian diperkuat dengan sistematis ilmu tafsirnya, dia mengatakan bahwa ayat itu adalah ayat khusus untuk istri nabi bukan ditujukan kepada seluruh wanita. Pun dari hadis-hadis yang banyak digunakan dalil oleh para cendikian yang mewajibkan adanya jilbab sebagai sarana untuk menutup aurat, penulis menemukan bahwa hadis-hadis yang dijadikan argumantasi oleh para Ulama yang menetapkan wajibnya menutup aurat bagi para wanita adalah hadis yang tidak valid, tidak shohih.
Terlepas dari kontroversial yang ada, buku ini sangat bagus untuk dijadikan referensi bagi siapa saja yang pro maupun kontra terhadap jilbab. Karena memang di dalam buku ini banyak memuat penjelasan dalil-dalil tentang mengapa harus ada hijab, jilbab, dan khimar. Dan di dalam buku ini pun terdapat definisi apa saja perbedaan dari tiga istilah yang sudah akrab dengan telingan kaum muslimin itu. Wallahu'alam
Judul : Kritik atas Jilbab
Judul Asli : Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadits
Penulis : Muhammad Said al-Asymawi
Penerjemah : Novriantoni Kahar & Oppie Tj
Penerbit : Jaringan Islam Liberal dan The Asia Fondation
Tebal : 172+XV
Peresensi : Azzah Zain Al Hasany
KETIKA RAMBUT HARUS DIPERSOALKAN
Problematika pewajiban jilbab memang telah lama menjadi obrolan hangat dan bahkan kadang menjadi “panas”. Sebagian ada yang menghukuminya fardu ‘ain; kewajiban individu setiap perempuan muslimah yang sudah baligh, sehingga kemudian lahir tuduhan “keluar dari Islam”, dan mendurhakai syariat serta pantas untuk mendapatkan sanksi yang sepadan dengan sanksi ilhad (hukum bunuh), bagi muslimah yang tidak “berjilbab”. Kemudian ada pula kelompok yang berpendapat bahwa jilbab dianggap sebagai slogan politik tok, bukan kewajiban agama. Dan tampaknya isu-isu tersebut akan terus berlangsung dan bertambah seiring berjalannya proses pelestarian pendapat para mufassir terdahulu maupun kehadiran interpretasi baru cendikia kontemporer.
Sesungguhnya, prinsip dasar al-Qur’an dan cara Islam dalam aplikasi hukumnya adalah prinsip tanpa paksaan (‘adamul ikrah) sampai dalam bagian hudud sanksi pidana) sekalipun. Implementasi hukum Islam selalu saja dilakukan dengan menguatkan etos panutan yang baik (al-qudwatul hasanah), nasehat yang lembut (an-nasihatul latifah) dan wasiat-wasiat yang terpuji.
Termasuk dalam proses pewajiban menutup aurat yang bertujuan untuk menghindari syahwat dan penjagaan nama baik, Islam pun tidak memaksakan ummatnya untuk mengggunakan hijab, jilbab atau pun khimar untuk menghindari buruknya nama baik atau menjauhkan diri dari syahwat. Islam memberikan kebebasan ummatnya untuk berekspresi mencari cara bagaimana menjaga nama baiknya.
RAMBUT WANITA BUKAN AURAT
Ungkapan bahwa rambut wanita adalah aurat karena merupakan mahkota mereka, setelah itu seiring berjalannya proses penafsiran akan timbul pula pertanyaan bahwa mukanya yang merupakan singgasana, juga aurat, suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat, tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya perempuan serba aurat. Implikasinya perempuan tak bisa melakukan aktifitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.
Jika kita harus melihat kepada historisitas mengapa rambut kerap menjadi perdebatan, apakah ia harus ditutupi atau tidak. Sejak zaman dahulu, pada masa-masa sejarah purba, bangsa Mesir kuno telah mengenal suatu kepercayaan yang bersumber dari ide-ide mistik, bahwa rambut manusia adalah kekuatan dan simbol kebanggaan. Sehingga memotong rambut secara total (botak) merupakan salah satu kegiatan ritual. Atas dasar itu, memotong rambut secara total lalu menjadi tradisi bangsa Mesir Kuno-baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Kaum laki-laki biasanya menutup kepala dengan sebuah penutup yang terbuat dari kain untuk melindungi diri dari sengatan dan panas matahari. Semetara kaum perempuan juga memakai tutup kepala yang terbuat dari rajutan, yang dikenal dengan nama baruqah (rambut palsu atau wig).
Berawal dari mitos bangsa Mesir ini kemudian menyebar ke pelbagai pelosok dunia dan dicerna oleh berbagai peradaban yang saling berbeda. Maka dari itu, bukanlah suatu yang mengherankan bila Nabi Musa (Abad XIII SM) juga terpengaruh beberapa pandangan Mesir kuno. Diantaranya menutup rambut ketika berhadapan dengan Tuhan, sebagai simbol ketundukan dan kepatuhan.
Sampai saat ini, orang-orang Yahudi yang taat agama, senantiasa menggunakan songkok di atas kepala, dan perempuannya menggunakan kerudung, selama berada di tempat ibadah, ketika sembahyang, atau ketika sedang melakukan ritual-ritual keagamaan.sebagian mereka beranggapan, bahwa cara ini adalah merupakan ekspresi religius yang murni, bukan simbol politis, di mana mereka lalu bisa disebut sebagai Yahudi taat atau radikal. Perdebatan serupa mencuat juga dalam fenomena pemakaian kerudung oleh wanita-wanita muslimah.
Rambut perempuan dalam pandangan Yahudi dan Kristen, juga beberapa agama lain, tidak dianggap sebagai aurat, tetapi dianggap sebagai simbol kekuatan dan bentuk keagungan. Maka kalaupun mereka nantinya tidak menggunakan penutup rambut ketika sembahyang, sebagai gantinya mereka harus memotong rambut persis seperti tradisi Mesir kuno dulunya.
Muhammad SAW, selama hidupnya selalu menghindar dari tradisi-tradisi yang menyerupai komunitas Mekkah (kaum Musyrik) dan cendrerung lebih memilih kebiasaan-kebiasaan kaum Ahli kitab. Ketika masih bermukim di Mekah, beliau memang terbiasa mencukur rambut seperti banyak dilakukan penduduk Mekkah pada umumnya. Namun, setelah hijrah ke Madinah dan beliau mengamati kaum ahli kitab gemar memanjangkan rambut, beliau pun turut memanjangkan rambut.
Sebagaimana tradisi ahli kitab, kebanyakan kaum Muslimin juga mengenakan thaqiyyah (songkok) dan kaum muslimat menggunakan kerudung di atas kepala mereka guna menutup rambut yang selayaknya tidak ditampakkan ketika menghadap Allah. Hal ini dimaksudksan untuk mengekspresikan kelemahan, kehambaan, ketundukan serta kesederhanaan di hadapan kemuliaan Allah.
Dari sedikit uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rambut laki-laki maupun perempuan bukanlah aurat, sesuai dengan konsep agama yang benar, maupun menurut perspektif syariat yang absah. Oleh sebab itu siapapun yang mewajibkan menutupnya atas anggapan bahwa ia aurat, maka orang tersebut pada hakikatnya telah mewajibkan sesuatu yang tidak pernah diwajibkan agama dan mengharuskan manusia melaksanakan sesuatu yang tidak seharusnya dilaksanakan,. Dengan perkataan lain orang tersebut telah menggantikan hukum-hukum agama, mungkin atas dasar kebodohan, kepentingan politik, motif “minyak” atau lainnya.
Jaringan Islam Liberal, mencoba untuk menghadirkan apa yang selama ini meresahkan masyarakat, terutama masalah yang sangat kontroversial ini, mengapa aurat wanita harus seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan (itu pun masih kontroversial), sedangkan laki-laki hanya sebatas pusar dan lutut. Padahal kalau mau merujuk kepada ilmu biologi bahwa kadar syahwat laki-laki dan perempuan adalah sama. Laki-laki dan perempuan mempunyai sumber fitnah yang sama, lalu mengapa seakan wanita yang lebih ditekankan untuk menutup aurat.
Dalam buku yang terdiri dari 172+XV halaman ini, penulis mencoba untuk mencari bukti-bukti yang konkrit atas kewajiban yang seakan unbalance ini, dari mulai ayat al-Qur’an surah Annisa dan al-Ahzab, yang banyak digunakan oleh para cendikiawan Islam untuk menguatkan argumentasi mereka terhadap penetapan kewajiban menutup aurat bagi seluruh wanita. Menurut penulis yang kemudian diperkuat dengan sistematis ilmu tafsirnya, dia mengatakan bahwa ayat itu adalah ayat khusus untuk istri nabi bukan ditujukan kepada seluruh wanita. Pun dari hadis-hadis yang banyak digunakan dalil oleh para cendikian yang mewajibkan adanya jilbab sebagai sarana untuk menutup aurat, penulis menemukan bahwa hadis-hadis yang dijadikan argumantasi oleh para Ulama yang menetapkan wajibnya menutup aurat bagi para wanita adalah hadis yang tidak valid, tidak shohih.
Terlepas dari kontroversial yang ada, buku ini sangat bagus untuk dijadikan referensi bagi siapa saja yang pro maupun kontra terhadap jilbab. Karena memang di dalam buku ini banyak memuat penjelasan dalil-dalil tentang mengapa harus ada hijab, jilbab, dan khimar. Dan di dalam buku ini pun terdapat definisi apa saja perbedaan dari tiga istilah yang sudah akrab dengan telingan kaum muslimin itu. Wallahu'alam
Komentar
Posting Komentar