KAU LAKI-LAKI SAYANG
Setelah bersenang-senang dengan hasil USG yang tentunya sangat sesuai dengan apa yang diinginkannya, suamiku malah menyesal.
"Ya, berarti nama dari kamu dong yang akan disandang anak kita selamanya." Katanya sambil manyun. Cemburu.
"Memangnya kenapa? Bukankah itu yang Yanda inginkan." Karena memang awalnya tugas memberi nama adalah bagianku. Baik itu laki-laki atau perempuan. Tetapi selang menuju bulan keenam kehamilanku, fikirannya berubah. Sepertinya ia ingin juga punya andil dalam memberi nama. Dan agar terkesan bijak, ia memberi pilihan, aku yang memberi nama jika laki-laki dan sebaliknya, perempuan adalah hak prerogratifnya dalam memberi nama.
"Bunda, gimana udah dapat namanya belum," Tanyanya yang kesekianpuluh kali di suatu sore.
"Belum!" kataku sambil mesem-mesem.
"Gimana sih?" matanya menatap tepat di mataku. Agak kesal.
"Massa cari nama aja lama banget!"
Aku tidak menjawab. Senyum saja. Melihat tingkah suamiku yang tidak sangat biasa. Dia bukanlah tipe lelaki yang cerewet, tetapi dengan ini, hampir setiap harinya, lebih lima kali pertanyaan itu diutarakannya.
Padahal suamiku tahu, sejak kutahu rahimku berisi, aku sudah mulai mempersiapkan nama, mulai dari nama-nama ilmuwan, sastrawan, filosof, perancang busana, nama-nama bagus dalam aneka novel yang aku baca, atau nama orang yang kulihat di daftar tamu sebuah seminar. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak lama. Menjadi kolektor nama-nama. Sejak cerita-ceritaku sering nampang di majalah.
Tetapi, meskipun begitu, bahwa aku yang punya otoritas penuh untuk melebelkan anak pertama kami, aku justru kebingungan, otakku mandeg. Kukumpulkan lagi catatan nama-nama yang telah kubuat. "Astaghfirullah," aku merasa nama-nama yang ada tidak cocok untuk anak kami.
Aku coba minta kepada kedua adikku, mereka yang senang bukan main akan memiliki keponakan laki-laki, menganggap bahwa jika pun mereka memberi nama, pasti tidak terpakai, mereka tahu banget aku jagonya melakukan hal itu.
Lain lagi dengan mertuaku, menurut mereka karena itu adalah anakku, akulah dan suami yang paling punya hak untuk menamainya.
"Buat pilihan aja bu!" kataku mencoba memelas.
"Udah, ibu ikut aja. Ibu doain semoga semuanya berjalan lancar. Proses melahirkannya dipermudah" katanya menutup telphonku.
Suamiku tak bosan-bosan mengingatkan "Ayo… sudah belum? Apa harus aku juga yang turun tangan? Jangan sampai disepelein ya Bunda…. Sebab nama adalah doa. Bahkan kata Alries, seorang entrepreneur, bahwa yang paling berpengaruh dalam laku tidaknya sebuah produk adalah nama, tidak satupun dalam pemasaran bisa sukses, kecuali nama. Produk terbaik, kemasan terbaik, pemasaran terbaik di dunia tidak akan berhasil jika namanya keliru."
“Kata pepatah Arab pun menegaskan bahwa nama adalah doa.”
Aku hanya mengangguk. Membuatnya senang adalah satu-satunya kewajibanku. Hehe.
“Pokoknya nama anak kita harus bagus dan mengandung doa paling baik....”
"Siap Yanda!" kataku sambil mengerlingkan mata.
Padahal hingga detik ini, aku masih saja bingung, harus kuberi label apa kau wahai jiwa suci yang akan lahir dari rahimku.
Still in bengong
02.30
Di hari-hari menunggumu dengan sejuta cinta..... wahai bukti cintaku!
Inilah jawabannya, puisi di 22 feb 08. 00.40
Untukmu, bukti-NYA cintaiku
Kunamakan engkau Ramzi Hubbina Fillah
Dengan iringan cita-cita kami makin serius mencintai-Nya
Dengan iringan doa dan tangan yang tak henti
Semoga kami bisa membuktikannya
Karena cinta-Nya mempertemukan aku dan yandamu
Karena cinta-Nya menyatukan aku dan yandamu
Karena cinta-Nya melahirkan kamu untuk kami
Kunamakanlah engkau Ramzi Hubbina Fillah
Bukti cinta Kami kepada Allah
Pastikan kami bisa membuktikannya
Selamat datang bukti cinta, Ramzi Hubbina Fillah!
Pastikan dunia dan akhirat kau genggam dengan sempurna!
Setelah bersenang-senang dengan hasil USG yang tentunya sangat sesuai dengan apa yang diinginkannya, suamiku malah menyesal.
"Ya, berarti nama dari kamu dong yang akan disandang anak kita selamanya." Katanya sambil manyun. Cemburu.
"Memangnya kenapa? Bukankah itu yang Yanda inginkan." Karena memang awalnya tugas memberi nama adalah bagianku. Baik itu laki-laki atau perempuan. Tetapi selang menuju bulan keenam kehamilanku, fikirannya berubah. Sepertinya ia ingin juga punya andil dalam memberi nama. Dan agar terkesan bijak, ia memberi pilihan, aku yang memberi nama jika laki-laki dan sebaliknya, perempuan adalah hak prerogratifnya dalam memberi nama.
"Bunda, gimana udah dapat namanya belum," Tanyanya yang kesekianpuluh kali di suatu sore.
"Belum!" kataku sambil mesem-mesem.
"Gimana sih?" matanya menatap tepat di mataku. Agak kesal.
"Massa cari nama aja lama banget!"
Aku tidak menjawab. Senyum saja. Melihat tingkah suamiku yang tidak sangat biasa. Dia bukanlah tipe lelaki yang cerewet, tetapi dengan ini, hampir setiap harinya, lebih lima kali pertanyaan itu diutarakannya.
Padahal suamiku tahu, sejak kutahu rahimku berisi, aku sudah mulai mempersiapkan nama, mulai dari nama-nama ilmuwan, sastrawan, filosof, perancang busana, nama-nama bagus dalam aneka novel yang aku baca, atau nama orang yang kulihat di daftar tamu sebuah seminar. Itu sudah menjadi kebiasaanku sejak lama. Menjadi kolektor nama-nama. Sejak cerita-ceritaku sering nampang di majalah.
Tetapi, meskipun begitu, bahwa aku yang punya otoritas penuh untuk melebelkan anak pertama kami, aku justru kebingungan, otakku mandeg. Kukumpulkan lagi catatan nama-nama yang telah kubuat. "Astaghfirullah," aku merasa nama-nama yang ada tidak cocok untuk anak kami.
Aku coba minta kepada kedua adikku, mereka yang senang bukan main akan memiliki keponakan laki-laki, menganggap bahwa jika pun mereka memberi nama, pasti tidak terpakai, mereka tahu banget aku jagonya melakukan hal itu.
Lain lagi dengan mertuaku, menurut mereka karena itu adalah anakku, akulah dan suami yang paling punya hak untuk menamainya.
"Buat pilihan aja bu!" kataku mencoba memelas.
"Udah, ibu ikut aja. Ibu doain semoga semuanya berjalan lancar. Proses melahirkannya dipermudah" katanya menutup telphonku.
Suamiku tak bosan-bosan mengingatkan "Ayo… sudah belum? Apa harus aku juga yang turun tangan? Jangan sampai disepelein ya Bunda…. Sebab nama adalah doa. Bahkan kata Alries, seorang entrepreneur, bahwa yang paling berpengaruh dalam laku tidaknya sebuah produk adalah nama, tidak satupun dalam pemasaran bisa sukses, kecuali nama. Produk terbaik, kemasan terbaik, pemasaran terbaik di dunia tidak akan berhasil jika namanya keliru."
“Kata pepatah Arab pun menegaskan bahwa nama adalah doa.”
Aku hanya mengangguk. Membuatnya senang adalah satu-satunya kewajibanku. Hehe.
“Pokoknya nama anak kita harus bagus dan mengandung doa paling baik....”
"Siap Yanda!" kataku sambil mengerlingkan mata.
Padahal hingga detik ini, aku masih saja bingung, harus kuberi label apa kau wahai jiwa suci yang akan lahir dari rahimku.
Still in bengong
02.30
Di hari-hari menunggumu dengan sejuta cinta..... wahai bukti cintaku!
Inilah jawabannya, puisi di 22 feb 08. 00.40
Untukmu, bukti-NYA cintaiku
Kunamakan engkau Ramzi Hubbina Fillah
Dengan iringan cita-cita kami makin serius mencintai-Nya
Dengan iringan doa dan tangan yang tak henti
Semoga kami bisa membuktikannya
Karena cinta-Nya mempertemukan aku dan yandamu
Karena cinta-Nya menyatukan aku dan yandamu
Karena cinta-Nya melahirkan kamu untuk kami
Kunamakanlah engkau Ramzi Hubbina Fillah
Bukti cinta Kami kepada Allah
Pastikan kami bisa membuktikannya
Selamat datang bukti cinta, Ramzi Hubbina Fillah!
Pastikan dunia dan akhirat kau genggam dengan sempurna!
Komentar
Posting Komentar